Videoanimasi sederhana tentang sejarah terjadinya Perang Padri di Minangkabau, Sumatera Barat DampakPerang Padri. Dampak dari perang Padri sendiri yaitu tertangkapnya Tuanku Imam Bonjol oleh Belanda yang kemudian diasingkan hingga akhirnya wafat. Dampak yang lain yaitu jatuhnya Sumatra Barat ketangan Belanda Berikut ini beberapa dampak perang Padri secara singkat, meliputi : Penderitaan rakyat akibat perang. Kerugian harta dan tenaga. . Mahasiswa/Alumni Universitas Negeri Jakarta27 Januari 2022 0902Halo Rizqa A, kakak bantu jawab yaa Jawaban dari pertanyaan kamu adalah A, untuk lebih jelasnya simak pembahasan berikut Perlawanan rakyat Indonesia yang dilakukan untuk mengusir Belanda dari wilayahnya yang terjadi sebelum politik etis 1908 selalu mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan perlawan rakyat pada masa tersebut hanya mengandalkan satu tokoh, selain itu pada masa itu juga hanya mengandalkan penyerangan fisik yang pasti akan dimenangkan oleh Belanda yang memiliki persenjataan lengkap dan tentara terlatih, alasan lain perlawanan ini selalu gagal adalah karena bersifat kedaerahan sehingga mudah untuk ditumpas oleh Belanda. Semoga membantu Dibawah pimpinan pemerintah Hindia Belanda kondisi yang dialami bangsa Indonesia tidak lantas membaik. Disini rakyat justru menderita atas kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial dengan mementingkan begitu, banyak muncul perlawanan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Seperti halnya perlawanan yang terjadi di daerah ini penjelasan mengenai Perang Padri mulai dari latar belakang, proses peperangan, dan akhir BelakangPerang Padri berawal dari konflik antara kaum adat dan kaum padri. Kaum adat adalah masyarakat asli Minangkabau yang memegang teguh adat dan menjalankan tradisi lama, seperti sabung ayam, mabuk-mabukan, dan kaum padri adalah kelompok ulama yang baru pulang dari Mekah dan ingin mengubah masyarakat muslim Minangkabau untuk menjalankan ajaran Islam secara perubahan yang digerakkan oleh kaum padri mendapat tentangan dari kaum adat. Dalam perkembangannya, kaum adat kemudian bekerja sama dengan terjadilah Perang Padri yang terbagi menjadi tiga periode yaitu, Fase pertama 1821-1825Fase kedua 1825-1830Fase ketiga 1830-1838Proses PeperanganPasukan Padri dalam perang pertama dipimpin oleh Tuanku Pasamah dan Tuanku Nan Renceh. Dalam perang ini, kaum Padri menang telak atas Belanda dan kaum tanggal 26 Januari 1824 Belanda mengadakan kesepakatan dengan kaum Padri untuk melakukan gencatan senjata. Akan tetapi, masa damai tersebut justru dimanfaatkan Belanda untuk mengambil kembali wilayah yang dikuasai kaum fase kedua Perang Padri terjadi bersamaan dengan Perang Diponegoro. Oleh karena itu, Belanda menunda Perang Padri dengan mengutus Sulaiman Aljufri untuk meminta agar Tuanku Imam Bonjol bersedia berdamai dengan damai antara kaum Padri dan Belanda akhirnya terlaksana melalui Perjanjian Padang yang ditanda tangani pada tanggal 15 November 1825. Berikut ini isi dari Perjanjian Padang antara kaum Padri dan mengakui kekuasaan daerah Kaum Padri yang meliputi Batusangkar, Padang Guguk Sigandang, Bukittingi, Agam, dan Saruaso, serta menjamin berjalannya sistem keagamaan di daerah Pihak sepakat untuk saling menahan diri dan tidak akan saling pihak akan saling melindungi orang yang melintas di daerah-daerah tersebut dan menjamin keamanan para melarang praktik sabung Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, Belanda mengerahkan kembali pasukan ke Sumatra Barat untuk menghadapi kaum Padri. Belanda menerapkan taktik benteng stelsel untuk mempersempit ruang gerak kaum Padri. Dalam perang Padri tahap ketiga 1830-1838, kaum Adat yang merasa dirugikan oleh Belanda bergabung dengan kaum Padri. Kaum Padri dan kaum adat kemudian bergerilya melawan pasukan Peperangan Pada bulan Oktober 1837 Belanda berhasil menangkap Imam Bonjol dan mengasingkannya ke Manado. Penangkapan Imam Bonjol tersebut mengakhiri perlawanan kaum Padri di Bermanfaat! Jakarta - Perang Padri menjadi salah satu pertempuran bersejarah di Indonesia. Nah, seperti apa kronologi serta penyebab pertempuran tersebut? Yuk tersebut berlangsung selama tiga puluh tahun lamanya, yakni dari tahun 1803 hingga 1838. Akibatnya, banyak korban jiwa yang melayang. Berikut fakta-fakta perang Padri yang dirangkum detikcom1. PenyebabPenyebab perang Padri dikarenakan pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat. Kala itu, muncul gerakan Wahabiah di Sumatera Barat yang bertujuan memurnikan kehidupan Islam oleh kaum saja, kaum Adat merasa tak sejalan. Pemerintah kolonial pun mendukung kaum Padri dan melakukan perjanjian di mana pasukan Belanda menduduki beberapa daerah di Sumatera Barat. Peristiwa ini lah yang mengawali terjadinya perang KronologiKronologi perang Padri terjadi mulai tahun 1821 di mana pasukan Belanda mulai menduduki beberapa daerah di Sumatera Barat, dan mengawali tersebut berlangsung hingga 1825. Tak berhenti di situ, perang Padri kedua kembali terjadi dengan strategi serangan kaum Padri ke pos-pos Belanda di Sumawang, Sulit Air, Enam Kota, Rau, dan Tanjung tanggal 22 Januari 1824, perang Padri dihentikan dengan perjanjian damai di Bonjol. Namun, perjanjian tersebut dilanggar oleh Belanda sehingga memicu pertempuran Padri kembali melakukan perjanjian perdamaian pada tanggal 15 November 1825 di Padang untuk menghentikan perang. Sebenarnya, perjanjian tersebut dilakukan Belanda hanya untuk berfokus pada perlawanan Diponegoro di selesai perang Diponegoro, Belanda kembali mendirikan pos di wilayah kekuasaan kaum Padri dan memicu perang Padri jilid dua. Perang pun berlangsung antara 1830 hingga perang berakhir setelah pimpinan perang, yakni Tuanku nan Alahan DampakDampak dari perang Padri menyebabkan banyak korban jiwa berjatuhan. Selain itu, perang Padri juga menyebabkan kesengsaraan pada rakyat karena Belanda mengerahkan ribuan tenaga untuk kerja paksa membuat jalan agar pasukan bisa menyerang Bonjol. pay/vmp Jakarta - Perang Padri merupakan salah satu pertempuran yang dilatarbelakangi oleh perpecahan di kalangan rakyat Minangkabau, tepatnya antara kaum Padri dan kaum ini terjadi di daerah Sumatera Barat dan terbagi ke dalam dua periode yang terpisah, yaitu pada tahun 1821-1825 dan dari buku Explore Sejarah Indonesia untuk SMA/MA/SMK/MAK yang ditulis oleh Abdurakhman dan Arif Pradono, kaum Padri menilai bahwa kaum Adat telah melakukan praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran kaum Padri ingin melakukan pemurnian praktik ajaran Islam dengan memberantas kebiasaan-kebiasaan yang menyimpang Padri terdiri atas ulama-ulama yang memiliki tujuan untuk memurnikan ajaran Islam di Minangkabau, sedangkan kaum Adat merupakan kelompok masyarakat di Minangkabau yang masih memegang teguh adat istiadat dari leluhur antara Kaum Padri dan Kaum Adat Dimanfaatkan oleh BelandaPerang saudara yang terjadi antara kaum Padri dan kaum Adat memberikan Belanda celah untuk mempengaruhi masyarakat pada tahun 1821, Pemerintah Kolonial Belanda yang bernama James Du Puy melakukan perjanjian dengan kaum perjanjian tersebut, Belanda berhasil menduduki sejumlah daerah. Akibat dari tindakan kaum Adat dan Belanda, akhirnya terjadilah Perang Pertama Perang Padri 1821-1825, Gencarnya Kekuatan Kaum PadriDi periode yang pertama, kaum Padri menyerang pos-pos Belanda dan melakukan pencegatan terhadap patroli-patroli mereka. Pada September 1821, pos-pos Belanda di Simawang, Soli Air dan Sipinang jadi sasaran penyerangan kaum itu, dengan jumlah pasukan, kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman menyerang Belanda di hutan sebelah timur Gurun. Pasukan Belanda yang hanya berjumlah 200 orang serdadu Eropa ditambah pasukan kaum Adat melakukan yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman cukup sulit dikalahkan, hingga akhirnya Belanda memutuskan untuk mengirimkan surat ajakan berdamai. Mengetahui taktik Belanda, Tuanku Pasaman tidak menanggapi ajakan Belanda dan terus menggencarkan perlawanan di berbagai Pasukan Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam BonjolPada tahun 1822, pasukan dari Tuanku Nan Renceh menyerang Belanda di bawah pimpinan Kapten Goffinet dan meraih mulai menduduki daerah IV Koto pada Februari tahun 1824, tindakan ini menyulut kemarahan kaum Padri di bawah komando Peto Syarif atau yang lebih dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol, kaum Padri melakukan penyerangan ke pos-pos Belanda di tahun 1825, Belanda kembali mengajukan perjanjian damai. Perjanjian itu berisi bahwa Belanda mengakui kekuasaan tuanku-tuanku di Lintau, IV Koto, Telawas, dan perjanjian tersebut mengecewakan kaum Adat. Mereka menganggap Belanda tidak menepati janji dan lebih mengutamakan kepentingan Kedua Perang Padri 1830-1837, Kaum Adat Mulai Melakukan PerlawananKaum Adat yang kecewa dengan perjanjian damai mulai menentang dan melawan balik Belanda. Pada periode kedua ini, kaum Padri dan kaum Adat mulai bersatu. Mereka menyadari bahwa musuh yang sebenarnya adalah kekuatan yang meningkat, kedudukan Belanda di Sumatera Barat semakin terdesak. Bahkan, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengangkat kolonel Jacob Elout untuk mencegah meluasnya perlawanan dan kekuasaan kaum tahun 1832, serangan Belanda kepada kaum Padri semakin gencar. Bahkan, mereka menyerang pos-pos pertahanan kaum Padri yang berada di Banuhampu, Kamang, Guguak Sigandang, Tanjung Alam, Sungai Puar, Candung, dan beberapa lainnya di Pasukan PadriDi tahun 1834, kekuatan Belanda berfokus untuk menguasai wilayah Bonjol. Hingga akhirnya pada tahun 1835, pasukan Padri mengalami kesulitan dan dipukul 10 Agustus 1837, Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaan berunding dengan Belanda. Sayangnya, usaha perundingan itu justru mengalami kegagalan dan memicu terjadinya peperangan Bonjol dikepung dan berhasil dikuasai oleh pasukan Belanda pada Oktober 1837. Tuanku Imam Bonjol dan sejumlah pejuang lainnya menyerahkan diri untuk menjamin keselamatan kaum menyerahkan diri, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, Ambon, dan akhirnya wafat di Manado pada 6 November 1864. Simak Video "Google Sediakan 11 Ribu Beasiswa Pelatihan untuk Bangun Talenta Digital" [GambasVideo 20detik] kri/kri Perang Padri merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat pada masa pendudukan Belanda. Namun, tahukah kamu kalau awal mula permasalahannya berasal dari peperangan antar saudara? Kalau penasaran ingin mengetahui ulasannya lebih lanjut, mending langsung cek saja artikel sejarah Perang Padri berikut masa pendudukan Belanda, terjadi perlawanan rakyat di berbagai daerah. Penyebabnya tak lain dan tak bukan karena kehidupan rakyat yang semakin menderita. Salah satu perlawanan dalam sejarah pendudukan Belanda berasal dari Sumatra Barat yang kemudian dikenal dengan Perang perang tersebut sudah terjadi mulai tahun 1803. Pada mulanya merupakan pertempuran sesama saudara. Akan tetapi, Belanda masuk dan membuat permusuhan itu semakin kemudian, kedua belah pihak yang bertempur itu menjadi satu dan berbalik melawan Belanda. Kira-kira seperti apa kronologinya? Daripada kebanyakan basa-basi, kamu bisa langsung saja membaca sejarah lengkap Perang Padri di bawah ini, ya!Sejarah Latar Belakang Terjadinya Perang Padri Kaum AdatSumber Wikimedia Commons Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sejarah perang antara rakyat Sumatra Barat melawan Belanda, tidak ada salahnya untuk menyimak latar belakang terjadinya peristiwa tersebut. Salah satu peperangan terlama di Indonesia tersebut bermula dari perseteruan antara kaum Padri dan kaum Adat. Terbentuknya Kaum Padri dan Kaum Adat Latar belakang sejarah bermulanya Perang Padri bermula dari berkembangnya paham Wahabi yang dipelajari oleh pemuka agama atau kaum terpelajar. Baik itu pada saat menunaikan ibadah haji atau memang berniat untuk belajar agama di Arab Saudi. Sepulangnya dari sana, orang-orang tersebut mengalami banyak perubahan. Tidak hanya cara berpakaian yang mengenakan jubah seperti orang Arab saja. Akan tetapi, perubahan terlihat jelas dalam perilaku mereka sehari-hari. Nah, jubah yang dikenakan tersebut kemudian digunakan sebagai identitas yang membedakan pemuka agama dengan rakyat biasa maupun orang-orang Belanda. Dengan kata lain, jubah tersebut merupakan penanda bagi orang yang memiliki tingkatan ilmu agama Islam yang tinggi. Sekitar tahun 1800-an, agama Islam mengalami perkembangan yang bisa dibilang sangat pesat. Hal tersebut kemudian memunculkan dua kubu di masyarakat yang sangat kuat, yaitu kaum Padri dan kaum Adat. Kaum Padri adalah golongan pemuka agama. Mengenai asal-usulnya namanya, padri berasal dari bahasa Spanyol, yaitu “padree” yang berarti pemuka agama. Golongan ini mengemban tujuan mulia untuk menyebarkan agama Islam di Minangkabau, Sumatra Barat. Sementara itu, kubu yang satunya adalah kaum Adat. Sesuai dengan namanya, anggota dari kaum ini adalah mereka yang masih memegang tegus adat istiadat dan tradisi leluhur. Meskipun begitu, sebagian besar dari mereka sudah masuk Islam. Baca juga Mengenal Lebih Dekat dengan Sosok Sultan Suriansyah, Pendiri dari Kerajaan Banjar Munculnya Permusuhan Antara Kaum Padri dan Kaum Adat Sumber Wikimedia Commons Benih-benih perang mulai tumbuh ketika kaum Padri berusaha untuk memurnikan sejarah tradisi atau adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pada waktu itu, tradisi-tradisi yang masih dilakukan oleh kaum Adat memang bertentangan dengan ajaran agama. Contohnya adalah melakukan sabung ayam, suka minum-minuman keras, atau memakai madat. Selain itu, yang membuat kaum Padri miris adalah ibadah wajib tidak dilaksanakan dengan benar oleh kaum Adat. Maka dari itu, para pemuka tersebut ingin mencoba memperbaiki hal tersebut dengan membawa kaum Adat ke arah yang menurut mereka lebih benar. Perdebatan sengit yang lainnya terjadi karena penentuan pembagian waris. Jika menurut budaya Minangkabau yang sudah berlangsung turun temurun, seharusnya pembagian tersebut diambil dari garis keturunan perempuan atau matrilineal. Sementara itu, di agama Islam peraturannya adalah diambil dari garis keturunan laki-laki atau patrilineal. Bahkan, Syekh Ahmad Khatib pun mengutuk budaya matrilineal tersebut. Pada tahun 1803, ada tiga orang haji yang pulang ke Minang. Mereka adalah Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Konon, ketiga haji tersebut dulunya pernah menjadi tentara Turki saat terlibat peperangan dengan Kerajaan Prancis. Setelah itu, mereka menemui ulama-ulama yang lain dengan rencana untuk memurnikan rakyat dari adat-adat yang menyimpang dari ajaran agama Islam. Dari pertemuan tersebut, lahirlah Harimau Nan Salapan. Untuk yang belum tahu, Harimau nan Salapan adalah ulama-ulama yang ditunjuk untuk menjadi dewan untuk membersihkan umat dari adat-adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Anggotanya ada delapan orang, yaitu Tuanku Mansingan, Tuanku nan Renceh, Tuanku Barapi, Tuanku Kapau, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Ladang Lawas, Tuanku Galung, dan Tuanku Padang Luar. Baca juga Peninggalan-Peninggalan Sejarah Era Kerajaan Ternate yang Masih Ada Hingga Sekarang Masalah Semakin Memanas Setelah dewan ulama terbentuk, mereka memulai agendanya untuk “memurnikan” rakyat Minangkabau. Salah satu caranya adalah dengan mengirim seorang ulama bernama Tuanku Lintau supaya membujuk pemimpin kaum Adat untuk sepenuhnya menjalankan syariat Islam. Sang pemimpin, yaitu Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah, tentu saja tidak terlalu menyukai ide tersebut. Karena sesuai dengan prinsip yang dipegangnya, kalau adat istiadat itu harus dipegang teguh. Perseteruan semakin memanas ketika Haji Miskin yang merupakan salah seorang anggota kaum Padri mulai melarang warga untuk melakukan sabung ayam. Ia pun tidak segan-segan untuk membakar arena sabung ayam. Hal tersebut tentu saja membuat kaum Adat marah. Mereka kemudian mengejar dan berusaha menangkap Haji Miskin yang pada saat itu kabur meminta perlindungan kepada Harimau nan Salapan. Pada awalnya, Harimau nan Salapan tersebut melakukan diskusi dengan ulama lain yang bernama Tuanku nan Tuo. Menurutnya, lebih baik memurnikan ajaran Islam dengan menggunakan cara-cara yang halus. Karena kalau menggunakan cara kasar, nantinya malah terjadi peperangan yang tidak akan pernah habis. Namun entah mengapa, pada akhirnya yang disetujui bersama adalah yang menggunakan jalan kekerasan. Maka dari itu, peperangan antar kedua kubu tidak dapat dihindarkan. Baca juga Ulasan Lengkap Mengenai Silsilah Raja-Raja yang Pernah Memimpin Kerajaan Kediri Meletusnya Perang Padri Ilustrasi PerangSumber Wikimedia Commons Menurut catatan sejarah, penyebab meletusnya perang Padri adalah setelah kaum Padri menyerukan jihad untuk melawan kaum Adat. Dengan menggunakan jalur kekerasan, mereka tidak segan-segan untuk membunuh para tetua dan juga membakar rumah-rumah adat. Namun setelah semua itu dilakukan, kaum Adat bergeming. Mereka tetap pada pendirian untuk memegang teguh adat leluhur. Hingga pada tahun 1815, kaum Padri kehilangan kesabaran dan kemudin menyerang Kerajaan Paguruyung. Penyerangan tersebut dipimpin oleh Tuanku Pasaman. Pertempuran hebat pun pecah di Koto Tengah. Kedua kubu tersebut saling serang sehingga banyak sekali korban jiwa berjatuhan. Tak hanya dari rakyat biasa, tetapi juga anggota kerajaan. Karena situasi kerajaan yang sangat kacau, Sultan Arifin Muningsyah kemudian lari untuk menyelamatkan diri. Pasalnya, Istana Paguruyung habis terbakar akibat pertempuran itu dan hanya tersisa puing-puingnya. Mengenai gambaran kondisi tempat tersebut pernah tertulis dalam catatan milik Raffles yang berkunjung ke sana sekitar tahun 1818. Awal Mula Campur Tangan Belanda Kaum Padri tidak kenal lelah untuk melancarkan serangan. Hal tersebut tentu saja membuat kaum Adat menjadi terdesak. Terlebih lagi, Sultan Arifin Muningsyah tidak diketahui keberadaannya. Maka dari itu, dengan diwakili oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar, kaum Adat meminta tolong kepada Belanda. Setelah mencapai kesepakatan yang diinginkan, kedua belah pihak secara resmi menandatangani perjanjian itu pada tanggal 21 Februari 1821. Hal tersebut juga berarti bahwa Kerajaan Pagaruyung menjadi milik pemerintah Hinda Belanda. Selanjutnya, Sultan Tangkal Alam diangkat sebagai Regent Tanah Datar. Tak berapa lama kemudian, Belanda mengirimkan pasukannya untuk memukul mundur armada Kaum Padri. Mereka tidak mengirimkan pasukan sampai ke perbukitan hingga pelosok Minang. Pada bulan April 1821, kaum Adat yang berkoalisi dengan Belanda kemudian menyerang wilayah Sulit Air dan Simawang. Penyerangan itu dipimpin oleh Kapten Goffinet dan Kapten Dienema. Pada akhir tahun, dikirimkan lagi pasukan pimpinan Letkol Raff untuk memperkuat pertahanan. Baca juga Bukti Peninggalan-Peninggalan Sejarah dari Kerajaan Gowa-Tallo, Serambi Mekah di Indonesia Timur Peperangan Belanda dan RakyatSumber Wikimedia Commons Gabungan pasukan Belanda dan kaum Adat tersebut baru bisa mengusir pasukan kaum Padri keluar dari Pagaruyung pada tanggal 4 Maret 1822. Kaum ulama itu kemudian menyingkir ke daerah Lintau untuk menyusun rencana pembalasan. Sementara untuk menancapkan kekuasaan, Belanda kemudian membangun Benteng Van De Capellen. Setelah itu, mereka terus melakukan usahanya penyerangan terhadap kaum Padri. Pada awalnya, pasukan Belanda tersebut berhasil membuat kaum ulama kewalahan. Namun, kekuatan mereka melemah ketika Kapten Goffinet meninggal dunia pada bulan September 1822. Hal itu membuat pasukannya harus mundur karena tidak sanggup menghadapi pasukan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh. Selanjutnya pada bulan April 1823, Letnan Kolonel Raaff mengerahkan pasukan untuk menyerang Lintau. Peperangan ini berlangsung begitu sengit karena kaum begitu gigih menghalau serangan lawan. Karena tidak membuahkan hasil, pasukan Belanda pun kembali ke Batusangkar. Alasan lainnya adalah karena sang pemimpin meninggal dunia. Di tengah kekisruhan tersebut, sekitar tahun 1824 Sultan Arifin tiba-tiba kembali ke Pagaruyung. Namun, kedatangannya tidak terlalu berpengaruh banyak. Hal tersebut dikarenakan setahun kemudian ia meninggal dunia. Pasukan Belanda masih belum mau menyerah dan kemudian melakukan penyerangan yang dipimpin oleh Mayor Frans Laemlin. Pada bulan September 1824, pasukannya berhasil merebut daera Koto Tuo, Ampang Gadang, Kapau, dan juga Biaro. Sayangnya, sang pemimpin pasukan meninggal dunia di akhir tahun 1824 karena luka parah. Baca juga Ulasan tentang Raden Patah, Sang Pendiri Kerajaan Demak yang Masih Keturunan Ningrat Melakukan Gencatan Senjata Melakukan pertempuran dengan Kaum Padri rupanya membuat Belanda merasa kesulitan. Mereka tidak hanya mengerahkan tenaga saja, tetapi juga menghabiskan dana. Belum lagi, mereka juga harus menghadapi perlawanan di wilayah lain. Karena pertimbangan dana yang sudah semakin menipis, akhirnya Belanda berinisiatif untuk melakukan gencatan senjata dengan Kaum Padri. Untuk yang belum tahu, gencatan senjata adalah kesepakatan bersama antar pihak yang berkonflik untuk menghentikan peperangan. Durasinya bisa saja sementara, tetapi juga bisa dalam waktu yang lebih lama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengutus residennya yang berada di Padang untuk membuat perjanjian gencatan senjata dengan kaum Padri. Pada waktu itu, kaum golongan ulama berada di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Pada tanggal 15 November 1825, kesepakatan antar kedua belah pihak itu resmi ditandatangani. Yang kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Masang. Untuk sementara, situasi di Sumatra Barat menjadi lebih terkendali. Akan tetapi, perdamaian tersebut rupanya tidak dapat diterima oleh kaum Adat. Untuk melampiaskan kekecewaaan, mereka kemudian berbalik memusuhi Belanda. Situasi ini kemudian membuat kedudukan Belanda menjadi serba sulit. Pasukan mereka tidak mendapatkan dukungan penuh dari kaum Adat, sementara itu juga tidak dapat menaklukkan Kaum Padri. Tuanku Imam Bonjol Mengajak Kaum Adat untuk Berdamai Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Ia diangkat menjadi pemimpin kaum Padri setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia. Meskipun merupakan anggota ulama, laki-laki tersebut sebenarnya tidak terlalu menyetujui tindakan golongannya yang menyerang kaum Adat. Karena bagaimana pun, mereka masih satu saudara. Makanya ketika menjadi pemimpin dan ada celah untuk berdamai dengan kaum Adat, ia menggunakan kesempatan tersebut dengan sebaik mungkin. Terlebih lagi, situasi Belanda memang sedang lemah. Dirinya ingin menyadarkan bahwa yang menjadi musuh sesungguhnya adalah Belanda. Tuanku Iman Bonjol pun mengundang perwakilan kaum adat ke Bukit Marapalam yang terletak di Kabupaten Tanah Datar. Pada awalnya perundingan kedua kubu memang tidak berjalan terlalu baik. Namun akhirnya, kesepakatan bersama yang diimpikan terjadi juga. Kesepakatan itu diberi nama Plakat Puncak Pato. Isinya adalah untuk mewujudkan adat Minangkabau yang berlandaskan agama Islam, dan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an. Baca juga Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Membuktikan Keberadaan Kerajaan Banten Sejarah Perang Padri Jilid II Pasukan BelandaSumber Wikimedia Commons Gencatan senjata dalam sejarah Perang Padri yang pertama tidaklah berlangsung lama. Setelah berhasil bangkit dari keterpurukan ekonomi, Belanda pun mengingkari perjanjian yang dibuat. Salah satu alasannya adalah karena mereka ingin menguasai daerah perkebunan kopi di Minangkabau. Kopi merupakan salah satu komoditi andalan milik Belanda. Maka dari itu, mereka ingin menaklukkan kaum Padri supaya lebih leluasa dalam menguasai perkebunan. Sebagai langkah awal, pasukan Belanda kemudian menyerang nagari Pandai Sikek. Selanjutnya, mereka mendirikan sebuah benteng bernama Fort de Kock di Bukittinggi. Dari situ, Belanda terus bergerak untuk menaklukkan daerah-darah basis milik kaum Padri. Tidak hanya daerah Lintau, tetapi juga Luhak Tanah Datar berhasil dikuasai. Hal ini kemudian membuat pihak lawan menjadi kalang kabut. Terlebih lagi, Belanda mendapatkan pasukan tambahan dari Jakarta supaya operasi penaklukkan tersebut bisa berjalan lebih cepat. Setelah bulan Oktober 1832, banyak sekali daerah-daerah yang sudah ditaklukkan oleh Belanda. Kaum Padri terdesak dari mana-nama dan kemudian bertahan di wilayah Bonjol. Pada awal tahun 1833, kubu kaum ulama sempat melakukan balas dendam dengan menyerang benteng pertahanan Belanda. Penyerangan yang dipimpin oleh Tuanku Rao tersebut berhasil melumpuhkan pasukan Belanda. Sayang sekali, kemenangan itu tidak bertahan lama. Karena kalah persenjataan, pasukannya harus terpaksa mundur. Terlebih lagi, sang pemimpin terluka parah karena ditembaki tanpa ampun oleh Belanda. Akhir hidup Tuanku Rao bisa dibilang sangat mengenaskan. Dalam keadaan sekarat, ia ditangkap oleh Belanda untuk diasingkan. Ketika dalam perjalanan ke tempat pembuangan, ia meninggal dunia dan jasadnya di buang ke laut. Serentak Melawan Belanda Peristiwa di atas kemudian semakin menumbuhkan semangat persatuan rakyat untuk mengusir Belanda dari Minangkabau. Seperti yang telah kamu tahu, kaum Padri dan Adat telah setuju untuk menggabungkan kekuatan. Keadaan menjadi semakin memanas setelah banyak benteng pertahanan Belanda diserang. Korban tewas dari kedua belah pihak tentu saja tidak terhindarkan. Di tengah kekacauan tersebut, Belanda menangkap Sultan Tangkal Alam karena dianggap berkhianat. Ia ditengarai ikut menyerang benteng pertahanan milik mereka. Meski sempat menyangkal, ia tetap saja dicopot dari jabatan sebagai Regent Tanah Datar lalu dibuang ke Batavia. Namun dari peristiwa tersebut, pihak Belanda kemudian menyadari kalau kedua kaum yang berseteru itu telah bekerja sama. Untuk sedikit meredam situasi, pemerintah Belanda kemudian mengeluarkan sebuah pengumuman, yaitu Plakat Panjang. Isinya adalah Belanda datang ke sana hanya untuk berdagang, bukan untuk menguasai. Selain itu, mereka akan membangunkan jalan dan sekolah. Tentu saja itu hanya pemanis belaka karena mereka mengharapkan rakyat untuk menanam kopi dan harus menjualnya kepada Belanda. Baca juga Informasi tentang Prasasti Bersejarah Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang Perlu Kamu Ketahui Usaha Penyerangan Benteng Bonjol Wilayah Benteng BonjolSumber Wikimedia Commons Pada tanggal 23 Agustus 1833, Van den Bosch datang ke Padang. Ia menanyakan mengapa penaklukkan di daerah tersebut berjalan begitu lambat. Setelah itu, para petinggi Belanda di Hindia Belanda melakukan pertemuan. Hasilnya adalah sebelum tanggal 16 September 1833, mereka harus sudah menjatuhkan markas utama milik kaum Padri, yaitu Benteng Bonjol. Sementara itu, kaum Padri dan Adat mengetahui mengenai rencana serangan Belanda. Mereka kemudian mengatur siasat perang. Dalam perang Padri kali ini, mereka akan menggunakan taktik serangan gerilya. Ketika waktunya tiba, strategi gerilya tersebut ternyata cukup ampuh untuk menghalau serangan pasukan Belanda. Mereka bahkan bisa merampas persenjataan milik pasukan lawan. Penyerangan kali ini dianggap sebuah kegagalan. Pada tahun 1834, Belanda kemudian fokus untuk membangun infrastruktur jalan menuju Benteng Bonjol. Selain untuk memperlancar mobilitas, gunanya adalah supaya lebih mudah mematahkan strategi gerilya milik lawan. Setelah selesai, pasukan Belanda mulai bergerak untuk menyerang Benteng Bonjol dengan dipimpin oleh Letnan Kolone Bauer. Pertempuran pun pecah di daerah Sipisang yang merupakan daerah basis kaum Padri. Pertarungan yang terjadi selama tiga hari tiga malam tersebut akhirnya dimenangkan oleh Belanda. Pasukan Padri terdesak dan kemudian bersembunyi ke hutan. Daerah itu pun dikuasai dan dijadikan basecamp Belanda untuk sementara. Selanjutnya, Belanda semakin bergerak mendekati Benteng Bonjol. Setelah semakin dekat, mereka kemudian menembaki benteng menggunakan meriam. Baca juga Kisah Lengkap tentang Sultan Maulana Hasanuddin, Sang Pendiri Kerajaan Banten Benteng Bonjol Berhasil Dikepung Pasukan Belanda berhasil mengepung wilayah sekitar Benteng Bonjol yang terletak di atas sebuah bukit bernama Tajadi. Meskipun terkepung, tentu saja kaum Padri tidak menyerah begitu saja. Lagipula, benteng tersebut sudah ditata sedemikian rupa sehingga tidak mudah diambil alih. Untuk semakin menekan pihak lawan, Belanda kemudian memblokade semua akses yang menuju ke benteng tersebut. Pada awalnya, mereka bertujuan untuk menghentikan pasokan senjata dan makanan. Namun, hal tersebut malah menjadi boomerang. Pasalnya, kaum Padri akhirnya secara diam-diam mengambil perbekalan milik Belanda. Selain itu, kaum ulama tersebut tetap mendapatkan bala bantuan dari simpatisannya yang berada di luar wilayah benteng. Pertarungan yang sengit antara kedua kubu terus terjadi. Pada bulan Agustus 1935, pihak Belanda menyerang benteng setelah mendapatkan bantuan dari Bugis. Selanjutnya, serangan itu dibalas oleh kaum Padri dengan menyerang markas pertahanan Belanda sebulan kemudian. Kedudukan mereka masih sama-sama kuat sehingga keadaan bertahan seperti itu selama beberapa waktu. Akan tetapi, keadaan itu pula yang pada akhirnya membangkitkan semangat juang dan keberanian rakyat di sekitar benteng untuk menyerang Belanda. Tidak main-main, mereka bahkan berhasil membuang bangsa penjajah itu menjadi kewalahan. Baca juga Peninggalan-Peninggalan Bersejarah Milik Kerajaan Aceh Darussalam yang Masih Ada Hingga Sekarang Akhir dari Kisah Sejarah Perang Padri Kemenangan BelandaSumber Wikimedia Commons Perang Padri merupakan salah satu perang yang paling lama dalam sejarah. Bahkan semenjak penyerangan Benteng Bonjol pertama, Belanda baru benar-benar bisa menaklukkan setahun kemudian. Kegigihan kaum Padri yang didukung oleh rakyat untuk mempertahkan benteng tersebut memang sangatlah luar biasa. Namun sepertinya memang perjuangan pada waktu itu memang sudah harus menemui titik akhirnya. Pada tanggal 3 desember 1836, pasukan Belanda akhirnya mengadakan serangan besar-besaran. Mereka menyerang benteng dari segala penjuru. Kali ini, penjajah tersebut berhasil menjebol pertahanan sehingga dapat masuk ke dalam benteng. Pertumpahan darah tidak dapat dihindarkan. Banyak sekali korban jiwa yang jatuh dari kedua kubu. Meskipun begitu, masih belum dapat melumpuhkan kekuatan kaum Padri. Hingga kemudian, pada bulan Maret tahun 1837, Belanda berusaha lagi untuk melumpuhkan kekuatan lawan dengan membawa lebih banyak pasukan. Lebih dari tentara didatangkan dari berbagai daerah untuk menyerang benteng Bonjol. Selama kurang lebih enam bulan, pasukan tersebut terus menerus melakukan serangan. Hingga akhirnya, mereka berhasil mengambil alih Benteng Bonjol pada tanggal 16 Agustus 1837. Penangkapan Tuanku Imam Bonjol Ketika Benteng Bonjol dapat ditaklukkan oleh Belanda, Tuanku Imam Bonjol beserta para pengikutnya berhasil melarikan diri. Selama dalam pelarian itu, ia berusaha untuk mengatur siasat meskipun pasukannya tercerai berai dan tinggal sedikit. Sayangnya, masa pelarian itu tidaklah lama. Dengan menggunakan tipu daya, pemimpin kaum Padri tersebut dapat ditangkap oleh Belanda pada tanggal 28 Oktober 1837. Ia kemudian diasingkan ke Cianjur. Setelah itu dibuang lagi ke Ambon pada akhir tahun 1838. Tak berhenti di situ, Tuanku Imam Bonjol kemudian dipindahkan lagi ke Lotta, Minahasa. Selama kurun waktu 27 tahun, ia menjalani masa pengasingan di tempat tersebut. Ia meninggal dunia di sana pada tanggal 8 November 1864. Dalam catatan sejarah, penangkapan Tuanku Imam Bonjol bukanlah akhir dari Perang Padri. Peperangan melawan Belanda masih tetap dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai. Namun, pasukannya tidak bertahan lama. Akhirnya di penghujung tahun 1838, wilayah Kerajaan Paguruyung resmi jatuh ke tangan Pemerintah Belanda. Hal ini kemudian menandakan berakhirnya perang yang sudah terjadi selama puluhan tahun itu. Baca juga Informasi Lengkap tentang Ken Arok, Sang Pendiri Kerajaan Singasari yang Punya Masa Lalu Kelam Ulasan Lengkap tentang Sejarah Perang Padri Demikianlah informasi lengkap mengenai sejarah Perang Padri yang dapat kamu simak di sini. Cukup panjang memang, tapi semoga saja dapat menambah wawasanmu setelah membacanya, ya! Nah, di PosKata kamu nggak hanya bisa mendapatkan ulasan mengenai masa-masa penjajahan di Indonesia saja, lho. Kalau ingin membaca tentang sejarah kerajaan-kerajaan ada di nusantara juga bisa. Tidak hanya kerajaan bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Aceh Darussalam, dan Mataram Islam saja, kok. Akan tetapi, ada juga tentang kerajaan Hindu-Buddha seperti Sriwijaya, Tarumanegara, Singasari, dan masih banyak lagi. Jadi, tunggu apalagi? Cek terus PosKata, ya! PenulisErrisha RestyErrisha Resty, lebih suka dipanggil pakai nama depan daripada nama tengah. Lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang lebih minat nulis daripada ngajar. Suka nonton drama Korea dan mendengarkan BTSpop 24/7. EditorElsa DewintaElsa Dewinta adalah seorang editor di Praktis Media. Wanita yang memiliki passion di dunia content writing ini merupakan lulusan Universitas Sebelas Maret jurusan Public Relations. Baginya, menulis bukanlah bakat, seseorang bisa menjadi penulis hebat karena terbiasa dan mau belajar.

perlawanan rakyat di berbagai daerah seperti perang padri