Bermaksud"ibu / induk al-Quran". Ianya dikenali dengan nama ini kerana semua intisari kandungan al-Quran terdapat dalam surah ini. Kandungan al-Fatihah Surah al-Fatihah mengandungi kesemua aspek Syariat Islamiyah antaranya: Tauhid, akidah atau keimanan kepada Allah. Janji-janji Allah untuk kehidupan di dunia dan akhirat
Carilahrezeki dengan baik, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram." (HR. Imam Al-Baihaqi rahimahullah, dalam kitab Sunanul Kubro 9640, dishahihkan oleh Imam Al-Hakim An-Naisaburi rahimahullah dalam kitab Al-Mustadrak dan disepakati oleh Imam Ad-Dzahabi rahimahullah) Bila ajal telah tiba, rezeki berarti telah berakhir.
Walaupunsedikit, ia memberi ancaman kesihatan, terutama sistem saraf, pencernaan, paru-paru, kulit, mata hingga sistem imunisasi pada tubuh. Banyak negara mengharamkan penggunaan amalgam.Negara-negara seperti Sweden, Norway dan Denmark telah mengharamkan penggunaanya semenjak 2008 dan menggantikannya dengan bahan lain yang lebih selamat.
SuratAl Fatihah berisi bacaan dengan pemaknaan yang sangat mulia dan mendalam. Anda dapat membacanya pada buku-buku tafsir surat Al Fatihah. DI sini saya hanya akan menuliskan terjemah dan pemaknaan surat Al Fatihah secara ringkas, bukan tafsirnya. 10. 1. Bismillahirrahmanirrahim 2. Alhamdulillahi rabbil alamin, 3. Arrahmaanirrahiim 4.
Olehkarena itu kita perlu mengetahui apa itu sholat, dan syarat rukunya. Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat-shalat sunah.
13Rukun Shalat sesuai Tuntunan Rasulullah. Allah Subhanahu Wa Ta'ala menciptakan manusia di bumi ini adalah untuk beribadah kepada-Nya, sehingga perlu mengetahui rukun dari setiap ibadahnya. Sudah sangat jelas di dalam Al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah
. . RAHASIA Fadilah Al-FATIHAH bagi diri kita ————————————————- – 1. Bismillah = Mesrakan mulai dari Penglihatan. 2. Ar-Rahman = Mesrakan ke Pendengaran. 3. Ar-Rahim = Mesrakan ke Penciuman. 4. Alhamdulillahi Rabbil Alamin = Mesrakan ke Pengrasa. 5. Arrahmanirrahim = Mesrakan lagi dari Otak. 6. Malikiyaumiddin = Mesrakan turun ke Sum-sum. 7. Iyyakana’budu wa iyyakanasta’in = Mesrakan ke Tulang-tulang 360. 8. Ihdinas shiratal mustaqim = Mesrakan ke Urat-urat. 9. Shiratal laziina an amta alaihim = Mesrakan ke Daging. 10. Gairil magdubi alaihim = Mesrakan ke seluruh Kulit. 11. Waladdollin = Mesrakan sampai ke Bulu-bulu. 12. Amin = Mesrakan seluruh tubuh hingga SEMPURNA diri kita dzahir dan batin. . Membaca AL-FATIHAH sambil DA’IM adalah puji AL-QUR’AN dalam diri. ………….. Suka Berhenti Mengikuti Kiriman 20 Januari pukul 2049
Keutamaan Surat Al FatihahSurat Al-Fatihah disebut juga sebagai Ummul Qur'an. Oleh karena itu, surat Al-Fatihah selalu dibaca sebelum membaca ayat-ayat dalam Al-Quran. Ummul Qur'an ini menjadi menu sehari-hari umat Muslim dalam menjalankan Al Fatihah telah menjadi nafas umat Islam di belahan dunia. Untuk itu, pengertian dan isi makna dari Surat Al Fatihah menjadi penting diketahui agar kita sebagai umat Islam bukan saja memposisikan bacaan ritual semata, tetapi juga mengetahui pengertian Surat Al Fatihah, hakikat Surat Al Fatihah dan makna dari Surat Al atau tidak, umat Islam banyak yang taqlid untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam tanpa mengetahui arti, hakikat dan makna dari Surat Al Fatihah. Padahal, Surat Al Fatihah memiliki substansi, esensi dan isi kandungan yang menjadi inti daripada isi Al Juga Jangan Diusir Saat Kucing Mendatangi Anda Makan. Bisa Jadi ini TandanyaDengan hadirnya tulisan surat Al Fatihah bahasa indonesia, diharapkan umat Muslim bisa mengerti dua hal, yaitu arti terjemahan Surat Al Fatihah secara literal dan mengetahui hakikat serta makna dari Surat Al Fatihah. Dengan begitu, ibadah kita semakin khusyuk dan sempurna apabila kita paham dan mengerti segala apa yang ada di dalam kandungan Surat Al Fatihah yang menjadi surat pembuka dalam Al dari Surat Al FatihahSurat Al Fatihah biasa disebut dengan ejaan surah al fatihah. Kenapa disebut dengan fatihah? Kenapa tidak dengan nama yang lain?Ya, Allah SWt telah memilih Surah Al Fatihah sebagai pembukaan dalam Al Quran. Oleh karena itu, Allah Swt memberikan nama Surat Al Fatihah di mana al fatihah berarti Al Fatihah adalah surat yang diturunkan di kota Mekah yang terdiri 7 ayat. Selain dijuluki "pembuka" sebagaimana arti al fatihah, Surat Al Fatihah juga dikatakan sebagai ummul kitab yang artinya adalah induknya kitab Al demikian? Pasalnya, Allah Swt sudah memberikan klaim bahwa Surah Al Fatihah adalah induk dari segala isi yang ada dalam kitab Al Qur' Al Fatihah juga menjadi bacaan wajib saat sholat dan biasa dibaca sebelum membaca surat-surat yang ada dalam Al Qur'an. Oleh karena itu, Surat Al Fatihah dikatakan sebagai As Sab'ul Matsaany yang berarti ayat yang jumlahnya tujuh dan dibaca berulang dalam setiap sholat. Demikian arti dari Surat Al Fatihah. Selanjutnya, kita bahas mengenai hakikat dan makna surat Al dan makna dari Surat Al FatihahSurat Al Fatihah memiliki peran sentral dalam setiap pengalaman beragama umat Muslim. Tanpa memakai Surah Al Fatihah, sebuah aktivitas sholat dianggap tidak sah. Sementara itu, dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa sholat yang tidak menggunakan Surat Al Fatihah, maka sholatnya menjadi pincang dan tidak begitu, ada semacam pemakluman bagi umat Muslim yang tidak hafal Surat Al Fatihah agar membaca surah al fatihah yang disingkat "subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahuakbar wala qaula wala kuwata ila billa hil aliyyil adzim."Baca Juga Mengapa Surat al-Ikhlas Sebanding dengan Sepertiga Al-Quran?Berikut ini adalah surat al fatihah bahasa indonesia untuk selanjutnya kita mengetahui arti, hakikat dan makna dari surah al al fatihah bahasa IndonesiaAlhamdulillahi rabbil alaminArtinya adalah segala puji untuk Allah sebagai Tuhan segala semesta alam. Hakikat dan makna dari ayat ini adalah kita sebagai manusia sudah seharusnya memuji Allah sebagai Tuhan bagi segala makhlum yang ada di alam semesta, baik manusia, jin, hewan, tumbuhan, planet, galaksi dan segala yang ada di semesta Alhamdulillahi rabbil alamin biasanya digunakan umat Muslim untuk bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah kepada hambanya. Ucapan Alhamdulillahi rabbil alamin sudah menjadi bagian dari tradisi dan budaya umat Islam saat mendapatkan berkah atau sesuatu yang dianggap menyenangkan arrahmanirrahim artinya maha pemurah dan maha peyayang. Arti dan tafsir arrahmanirrahim menggambarkan sifat-sifat Allah yang maha pengasih pemurah dan maha lah satu-satunya dzat yang memiliki keluasan rasa kasih kepada makhluknya tanpa batas dan punya rasa sayang kepada makhluk-Nya yang tiada makna dan hakikat surat Al Fatihah yang termaktub dalam ayat arrahmanirrahim artinya memberitahukan kita bahwa hidup ini, kesehatan ini, dan apa yang ada dalam diri kita saat ini merupakan rahmat dari kasih dan sayang Allah kepada kita. Pernahkah kita berpikir bahwa kesehatan itu mahal harganya?Kesehatan yang mahal harganya itu menjadi bagian dari rahmat, kasih dan sayang Allah kepada kita. Oleh karena itu, melalui surat Al Fatihah dalam ayat Arrahmanirrahim artinya kita harus senantiasa mengerti bahwa kasih dan sayang Allah kepada makhluknya tidak yaumiddinAyat dan kalimat maliki yaumiddin artinya yang menguasai pada Hari Pembalasan kelak. Malik berarti yang menguasai, dan yaumiddin berarti hari juga yang mengartikan Maaliki yaumiddin adalah Allah yang maha merajai hari akhir atau hari pembalasan nantinya. Hidup itu hanya sekadar mampir minum dan hakikat daripada kehidupan adalah akhirat di mana hari pembalasan selalu ada untuk memberikan pembalasan terhadap apa yang dikerjakan manusia selama sebuah ayat dalam Al Quran disinggung bahwa seberat biji zarah pun setiap perbuatan baik kebaikan maupun keburukan pasti ada balasannya. Dan, di hari pembalasan kelak hanya Allah yang menguasai atau merajai. Secara singkat, tafsir makna dan arti dari maliki yaumiddin adalah Allah yang maha kuasa di mana Allah yang akan menguasai dan merajai nanti pada hari pembalasan, yaitu hari di mana setiap perbuatan manusia mendapatkan kana'budu wa iyya kanasta'inArti iyya kana'budu wa iyya kanasta'in adalah hanya Allah yang kami sembah dan hanya kepada Allah lah kami meminta pertolongan. Arti makna dan hakikat dari ayat iyya kana'budu wa iyya kanasta'in adalah bahwa Allah merupakan dzat yang kita sembah dan satu-satunya dzat yang bisa dijadikan sandaran untuk meminta ayat iyya kana'budu wa iyya kanasta'in, manusia seharusnya tahu dan mengerti bahwa Allah lah satu-satunya dzat yang disembah dan Allah lah satu-satunya dzat yang dijadikan sandaran atau tempat untuk meminta pertolongan. Tidak ada yang lain. Allah adalah satu-satunya dzat yang harus kita sembah dan kita minta siratal mustaqimArti dan maksud ihdinas siratal mustaqim adalah tunjukkan kami jalan yang lurus. Hal ini menjadi doa bagi kita untuk meminta kepada Allah agar kita ditunjukkan oleh Allah dengan jalan dan hidayah yang lurus, yaitu jalan dan maksud ihdinas siratal mustaqim dalam surat Al Fatihah menegaskan kepada umat Islam untuk meminta kepada Allah agar senantiasa diberikan pintu hidayah melalui jalan yang lurus, yaitu jalan yang benar menurut hidup ini senantiasa selalu ada godaan dan bujukan rayu syaitan. Oleh karena itu, melalui kalimat ihdinas siratal mustaqim maksudnya agar kita diberikan jalan yang lurus dan dan jalan yang diridhai oleh Allah. Begitulah arti, makna dan maksud ihdinas siratal an' amta 'alaihim ghoiril maghdhuubi 'alaihim walodh dholliinArtinya adalah jalan orang-orang yang telah Allah berikan nikmat, bukan jalan yang murkai Allah dan juga bukan jalan yang Juga Arti dan Makna Hasbunallah Wanikmal Wakil Nikmal Maula Wanikman NasirArti, makna dan hakikat dari ayat dalam surah al fatihah ini bahwa kita meminta kepada Allah agar diberikan petunjuk atau hidayah berupa jalan yang lurus melanjutkan kalimat ihdinas siratal mustaqim, yaitu jalan yang benar-benar dirahmati oleh Allah, bukan jalan yang dimurkai atau jalan yang sesat sebagaimana orang-orang telah dimurkai dan disesatkan oleh Allah karena kelakuan dan perbuatan mereka bisa memberikan manfaat yang nyata dalam menjalankan ibadah sehari-sehari sebagai seorang Muslim yang selalu mengharapkan rahmat dan ridho Allah. Dan insyaAllah kita bisa lebih menghayati setiap ibadah shalat yang kita lakukan. islam
Fasal ini membicarakan berkenaan surah Al-Fatihah, keistimewaan dan kedudukkannya dalam kehidupan Umat Islam. Pembicaraan ini adalah amat penting kerana ianya meningkatkan mutu kefahaman setiap pembacanya serta menjadikan mereka lebih berupaya untuk mengaplikasikan setiap kandungan surah ini sama ada ianya tersurat mahu pun tersirat dalam menjayakan kehidupan dan membangun kerohanian mereka. Perihal ini jelas teserlah dalam nama-nama yang telah dibeikan oleh Allah swt keatas surah ini. Dari kepelbagaian nama ini tersemat rahsia-rahsia yang perlukan pengenalan dan penganalisaan yang menyeluruh untuk menemukan penjelasan dan jawapan kenapa surah ini diwajibkan keatas Umat Islam untuk membacaranya setiap hari dan malam disepanjang kehidupan mereka di Dunia ini. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 FASAL SATU PENGENALAN SURAH AL-FATIHAH Pendahuluan Fasal ini membicarakan berkenaan surah Al-Fatihah, keistimewaan dan kedudukkannya dalam kehidupan Umat Islam. Pembicaraan ini adalah amat penting kerana ianya meningkatkan mutu kefahaman setiap pembacanya serta menjadikan mereka lebih berupaya untuk mengaplikasikan setiap kandungan surah ini sama ada ianya tersurat mahu pun tersirat dalam menjayakan kehidupan dan membangun kerohanian mereka. Perihal ini jelas teserlah dalam nama-nama yang telah dibeikan oleh Allah swt keatas surah ini. Dari kepelbagaian nama ini tersemat rahsia-rahsia yang perlukan pengenalan dan penganalisaan yang menyeluruh untuk menemukan penjelasan dan jawapan kenapa surah ini diwajibkan keatas Umat Islam untuk membacaranya setiap hari dan malam disepanjang kehidupan mereka di Dunia ini. Definisi Surah Al-Fatihah Perkataan Al-Fatihah dalam konteks ini adalah merupakan satu istilah yang merujuk kepada nama Surah pertama dalam Kitab Suci Al-Quran Al-Karim. Dengan kata lain, Surah ini adalah Surah pertama yang tersurat di dalam susunan Al-Quran. Ianya dinamakan Al-Fatihah kerana ianya merupakan pembuka kepada bacaan Al-Quran Al-Kariim.[1/1] Tambahan pula ianya telah pun diletakkan oleh Allah swt dipermulaan kitab suci yang diturunkan kepada Rasul utusanNya yang terakhir. Penentuan ini adalah bersifat kekal dan tidak boleh diubah suai oleh sesiapa pun. Ianya merupakan susunan terakhir yang ditinggalkan oleh Rasulallah saw sebelum beliau dipanggil kembali kepangkuan Allah swt Pencipta dan Pengutus baginda sebagai Rasulullah saw utusanNya. Dari aspek ilmu Bahasa, perkataan ini merupakan kata akar kepada kata kerja {Fataḥa} yang membawa maksud “membuka” dan “terbuka”. Ini bermakna kata akarnya ialah “buka”, sementara kata nama untuk pelakunya adalah “pembuka” dan kata yang merujuk kepada peralatannya pula ialah {Miftaḥ}.[3] Surah ini juga telah dijadikan rukun asasi dalam bacaan-bacaan Solat pengabdian diri kepada Allah swt. Ianya juga dinamakan dengan beberapa nama yang lain seperti {’Ummul Kitab, As-Sabu Al-Mathani, Al-ḥamdu, As-Syifa’, Al-Waqiaṯ, Al-Kafiyaṯ dan ’Asasul Al-Quran Al-Karim} sepertimana terdapat dalam catatan Imam Al-Bukhari.[2/1, bil. 4740] 2 Keistimewaan Surah Al-Fatihah Al-Fatihah adalah merupakan Surah yang sangat istimewa. Allah swt telah mensyari’atkan Surat Al-Fatiha untuk hamba-hamba Nya berhubung dengan-Nya dalam setiap rakaat yang didirikan. Dengan ini, sebagai seorang Islam membaca Surah ini adalah sebanyak tujuh belas kali setiap hari, siang dan malam. Bahkan lebih daripada itu, kiranya ditambah dengan solat-solat sunat yang dikerjakan. Hakikat ini berterusan dan berganda-ganda, kiranya seseorang hamba itu menikmati kegembiraan dan ketenangan untuk terus berdiri mengerjakan pelbagai jenis solat sunat yang menghubungkannya dengan Allah swt selaku penciptanya.[55] Dengan pensyari’atan ini, tidak ada sebarang do’a dan bacaan yang diterima oleh Allah swt dalam perhubungan ini selain daripada berasaskan kepada Surah ini. Persoalannya disini, apakah rahsia di sebalik Surat Al-Fatihah, apa keistimewaannya sehingga layak disyari’atkan sebagai bacaan asasi dalam solat, dan kenapa ianya menjadi satu keperluan kepada setiap pembacanya? Demikianlah sebahagian pertanyaan yang akan cuba dikongsikan bersama dalam buku kecil ini.[8] Keistimewaan Surah Al-Fatiha juga boleh dirasakan daripada kedudukannya dalam susunan Mashaf Al-Qur'an Al-Karim. Walaubagaimana pun, kedudukan ini tidaklah bererti ianya merupakan Surah yang pertama diturunkan kepada baginda Nabi Muhammad saw. Ini kerana Allah swt menurunkan ayat-ayat suci Al-Quran Al-Karim mengikut keperluan yang bersesuaian dengan perkembangan semasa yang dilalui oleh Dakwah Islamiah yang disampaikan oleh baginda nabi kita Muhamad saw. Dalam perkara ini pelbagai hikmat telah pun ditemukan oleh para alim ulama yang mengkaji berkenaan dengan sebab-musabab yang membawa kepada turunnya sesuatu ayat Al-Quran Al-Karim yang juga dikenali sebagai Asbabul Nuzul. Peristiwa Turunnya Surah Al-Fatihah Mengikut pandangan kebanyakkan Ulama’, ianya adalah Surah Makiyyah iaitu Surah yang diturun ketika mana Nabi Muhammad saw berada di Makkah dan sebelum baginda berhijrah ke Madinah. Walaubagaimana pun, Ibnu Abbas ra dan Ataa’ bin Yasaar serta ramai lagi menyatakan bahawa ianya adalah Surah Madaniyyah. Ada juga yang berpandangan bahawa ianya diturunkan pertama kali di Makkah ketikamana Solat diwajibkan, iaitu selepas diturunkan Surah Al-Muddathir. Ianya juga diturunkan sekali lagi di Madinah ketika berlakunya peristiwa datangnya arahan kepada Rasul saw supaya mengalihkan Qiblat Solat dari arah Kota Baitul Maqdis di Palestin ke Baitullah Al-Haram di Makkah. Bilangan ayat yang terdapat dalam Surah ini ialah tujuh termasuk Basmalah, di iringi Hamdalah dan seterusnya Thana’. Apa yang jelasnya, tidak diulang kata nama Agong Allah selepas daripada ayat Hamdalah.[55] 3 Ada pun huraian berkenaan sebab dan musabbab yang membawa kepada turunnya Surah ini, Ibn Hajar Al-Asqallaniy menukilkan satu Athar yang diriwayatkan oleh Saidina Ali ra.Riwayat ini berkenaan satu peristiwa yang berlaku keatas baginda nabi Muhamad saw ketikamana baginda keluar bersiar-siar, baginda terdengar suara memanggil Wahai Muhammad! Baginda segera bergegas lari daripada tempat tersebut. Lantaran itu, Waraqah bin Naufal berkata kepada baginda apabila kamu mendengar panggilan itu, berhentilah sehingga kamu dengar dengan jelas apa yang suara itu mahu katakan kepada kamu. Maka tat kala suara itu datang lagi memanggil baginda Wahai Muhammad! Baginda pun menjawab {Labbaik!} yakni Ya saya disini!. kemudian suara itu berkata lagi Sebutlah! ﴿ ﴾ Aku bersaksi bahawa tiada Tuhan kecuali Allah swt dan aku bersaksi bahawa Muhamad itu utusan Allah swt. Selepas itu, suara itu berkata lagi, sebutlah ﴿ ﴾ Kepujian itu adalah bagi Allah swt Pemelihara Sekelian Alam ini, Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang, Pemilik Hari Perhitungan ..., begitulah seterusnya hingga akhir Surah yang menjadi pembuka kitba suci Al-Quran Al-Karim. [28 bil. 1/224] . Dalam kontek ini, ada beberapa istilah ilmu Hadith yang berkaitan dengannya. Athar adalah bermaksud sesuatu riwayat yang berkaitan dengan nabi kita Muhamad saw atau pun para sahabat baginda. Ada pun Al-Khabar adalah sesuatu riwayat yang setarap dengan Hadith. Sedikit berbeza dengan Hadith, Al-Khabar adalah lebih bersifat berita, sementara Hadith lebih bersifat pengucapan baginda nabi kita Muhamad saw. Akhir sekali ialah Al-Sunnah. Istilah ini merujuk kepada riwayat-riwayat yang berkaitan dengan sifat dan perlakuan nabi kita Muhamad saw sama ada dalam bentuk perkataan, perbuatan mahu pun sikap mendiamkan diri baginda atas sesuatu perkara yang berlaku. 4 Nama-nama Khusus Surah Al-Fatihah Mungkin ada sesetengah pembaca merasakan sedikit kehairanan, bagaimana sesuatu Surah mempunya pelbagai nama? Dengan kata lain, bagaimana Surah Al-Fatihah ini mempunyai pelbagai nama? Apa pentingnya sesuatu nama itu? Bagaimana sesuatu Surah itu mempunyai lebih daripada satu nama? Secara amnya, sesuatu nama itu diberikan kepada sesuatu sebagai label yang menandainya serta membezakannya dengan sesuatu yang lain. Cara memberikan label ini mungkin berbeza dari satu budaya ke budaya yang lain, bahkan dari satu kelompok masyarakat berbanding dengan kelompok yang lain pula. Keadaan ini menjadikan kecenderungan logik akal untuk menerima sesuatu nama hanya merujuk kepada sesuatu yang tertentu dengan jelas lagi khusus. Sungguh pun begitu, adalah sesuatu yang biasa ditemukan bahawa satu nama dimiliki oleh beberapa individu atau merujuk kepada perkara yang berlainan [34&35]. Perbincangan diatas jelas membawa maksud bahawa proses memberikan nama bagi sesuatu itu dipengaruhi oleh budaya sesuatu masyarakat. Budaya itu terserlah dalam penggunaan bahasa yang mereka gunakan. Penggunaan itu sendiri memperlihatkan cara aliran pemikiran masyarakat tersebut. Bentuk nama dan sistem penamaan adalah merupakan imbasan yang jelas menerangkan hakikat kefahaman dan pemikiran masyarakat tersebut. Dalam kontek ini, adalah sesuatu yang sewajarnya diketahui umum bahawa Al-Fatihah dikenali dengan beberapa nama.[2/5, bil. 2/428] Bagaimanakah nama-nama tersebut diberikan? Kenapa nama-nama tersebut penting untuk difahami oleh setiap umat Islam? Persoalan inilah yang terdapat dalam riwayat yang menyatakan bahawa Ali bin Abu Talib ra ada melaporkan berkenaan Surah ini yang juga dikenali dengan beberapa nama yang berlainan tetapi ianya tidaklah membawa maksud yang berlawanan. Para ulama tafsir telah membuat penelitian dan analisis berkenaan dengan setiap nama tersebut dan mendapati bahawa setiap nama tersebut ada maksudnya yang tersendiri, yang tersirat disebalik nama-nama tersebut. Dalam buku kecil ini, perbincangan dan penganalisaan yang akan dibentangkan akan menjelaskan keistimewaan sistem penamaan Surah Al-Fatihah diberikan. Ianya memberikan tumpuan kepada dua aspek berikut 5 1. Dinamik Budaya dan Pemikiran Arab dalam Sistem Penamaan Penganalisaan nama-nama yang diberikan kepada Surah Al-Fatihah ini memperlihatkan sifat dinamik yang ada dalam budaya Arab. Kepelbagaian nama untuk sesuatu benda atau perkara membuktikan mereka menilai perkara tersebut daripada pelbagai perspektif. Dengan kata lain, sesuatu nama yang diberikan itu adalah merujuk kepada sesuatu fenomena, sifat, gejala dan maksud tertentu yang perlu difahami dengan jelas oleh setiap anggota masyarakat yang berada dalam budaya tersebut. Apa yang menariknya dalam konteks budaya Arab, ianya berlaku atau dijayakan secara semula jadi bersesuaian dengan sifat keanjalan yang terdapat dalam morfologi, sintaksis dan juga gaya bahasa Arab itu sendiri. 2. Sifat Keanjalan Struktur Morfologi Bahasa Arab Sifat keanjalan yang terdapat dalam sesuatu bahasa itu memungkinkan pengguna bahasa tersebut memberikan pelbagai nama untuk sesuatu perkara. Sungguh pun istilah anjal ini pada lazimnya merujuk kepada sifat ketahanan fizikal sesuatu benda, tetapi keanjalan juga memberikan makna keupayaan daya tahan dalam membentengkan diri daripada rosak dan lupus. Hakikat inilah yang terdapat pada nama-nama yang diberikan kepada Surah ini. Jelasnya, untuk memahami sesuatu nama sebagai sebuah bentuk ajaran bahasa, seseorang perlu memahami konteks penggunaan bahasa tersebut, masyarakatnya, dan budaya yang mempengaruhi kehidupan dan pemikiran mereka. Pemahaman konteks pula hanya boleh dicapai dengan memahami ekspresi bahasa pengucapan yang diucapkan oleh mereka, baik secara individu mahupun secara kolektif. Hakikat ini dapat difahami dengan mudah dalam sistem penamaan Surah Al-Fatihah seperti dalam jadual berikut 6 Jadual Hurain Nama-Nama Surah Al-Fatihah Adalah satu nama yang mengkagumkan. Bagaimana mungkin Surah ini dinamakan dengan nama ini. Adakah Al-Solat itu sama erti dengan Al-Fatihah? Dengan kata lain, Surah ini dinamakan juga dengan nama Surah Solat. Ini kerana Surah ini wajib dibaca dalam setiap solat. Huraian ini adalah bersandarkan kepada sebuah Hadith Qudsi yang dinukilkan oleh Para Perawi Hadith seperti Imam Muslim melalui riwayat Abu Hurairah ra bahawa Nabi saw bersabda yang mafhumnya[2/2, bil. 8/75] 2 “Allah swt berfirman kepadaku aku membahagikan Solat itu antaraKu dan hambaKu kepada dua bahagian. Satu bahagian untukKu, satu bahagian lagi untuk hambaKu. Bagi hambaKu apa yang dipinta. Apabilah dia berkata “Segala kepujian itu hanya bagi Allah Pemelihara Sekelian Alam”3, Aku akan berkata “HambaKu telah mensyukuri nikmat pemberianKu. Apabilah dia berkata “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, Aku pun berkata “HambaKu telah memujiKu. Apabila dia berkata “Pemilik mutlak Hari Perhitungan”, Aku akan berkata “HambaKu telah Mengiktiraf KehebatanKu. . Hadith Qursi adalah antara jenis-jenis hadith yang diriwayatkan oleh para sahabat nabi kita Muhamad saw Muhamad saw dan dicatatkan oleh para imam hadith seperti Bukhari, Muslim dan lainnya. Terjemahan hadith Qudsi kedalam bahasa Melayu biasanya menggunakan kata kerja “berfirman” dan bukannya “bersabda”. Keadaan ini berlaku kerana dalam budaya dan ada sopan perbicaraan dalam bahasa Melayu lebih komplek berbanding dengan bahasa Arab. Orang Arab hanya menggunakan satu bentuk kata kerja sahaja untuk menerangkan peristiwa sesuatu pengungkapan ia itu “berkata”. Tetapi, dalam bahasa Melayu, pelbagai jenis kata kerja yang perlu disesuaikan dengan siapa penuturnya dan dimana ianya dituturkan. Contohnya, “berfirman” merujuk kepada Allah swt selaku Pencipta Sekelian Alam, “bersabda” merujuk kepada baginda Rasulallah saw. Sementara “bertitah” hanya digunakan sebagai merujuk kepada ungkapan rasmi sesaorang raja atau sultan yang sedang bertahta dalam sesuatu pemerintahan. . Terjemahan yang diberikan dalam kontek ayat ini ialah “Segala Kepujian itu hanyalah bagi Allah swt Pemelihara Sekelian Alam”. Terjemahan ini adalah bersifat terjemahan ilmu Bahasa -semantik, dimana penterjemah akan cuba sepenuh kemahirannya untuk tidak memberikan sebarang penambahan, pengurangan dan pengubahan atau apa yang dikenali juga sebagai pentakwilan. Contoh mudah untuk perkara ini adalah seperti kita menambah perkataan Tuhan Pemelihara Sekelian Alam boleh membawa maksud bahawa disana ada Tuhan Pemelihara dan ada pula Tuhan yang tidak menjadi Pemelihara Sekelian Alam. 7 Dan dikala dia berkata “sesungguhnya untukMu kami memperhambakan diri dan kepadaMu kami memohon pertolongan”, Aku akan berkata “Ini adalah urusan antaraKu and hambaKu. Oleh yang demikian, bagi hambaKu apa yang dia pinta. Apabilah dia berkata “tunjukkanlah kami {Sirat Al-Mustaqim}, iaitu Jalan Lurus yang Engkau telah berikannya sebagai nikmat kepada mereka yang terdahulu, bukan sebagai mereka yang Engkau murkai, dan bukan pula mereka yang sesat”. Aku pun berkata “mereka itulah hamba-hambaKu dan bagi mereka apa yang mereka minta”. Nama {Al-ḥamd} adalah sesuatu yang menkagumkan. Ini kerana ianya terletak dipermulaan Surah . Ianya menjadi nama yang membawa maksud yang sangat unik. Oleh yang demikian apakah erti sebenar bagi kata {Al-ḥamd}? Adakah cukup bagi seseorang dengan hanya membuat pengucapan {Al-ḥamdu Lillah}? Atau disana sewajarnya tersirat dan terpahat dihati sanubari penutur itu maksud yang sewajarnya? Kata nama {Al-ḥamd} dalam bahasa Arab adalah merupakan kata akar bagi perkataan {ḥamida yamdaḥu} yang bermaksud pujian dengan sebab keistimewaan yang tertentu. Ianya menjadi pelengkap kepada ucapan terima kasih. Ini kerana ucapan terima kasih diucapkan setelah menerima nikmat kebaikan yang tertentu. Sementara ucapan pujian ini lebih menyeluruh daripada ucapan terima kasih.[7, 2/499] Dari kata pujian ini, terbitlah perkataan {ḥaamid} Pemuji, {ḥamiid} Pemuji Bijak, Ahmad orang yang amat terpuji, Muhammad orang yang sangat-sangat dipuji dan juga Mahmud orang yang dipuji. 8 Nama Fatihatul Kitab ini disebut oleh baginda nabi Muhamad saw dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari [bil. 4447]. Nama ini juga tersebut dalam Hadith yang dinukilkan oleh Muslim [bil. 630]. Kata {Fataḥa} adalah merujuk kepada kata akar bagi perkataan fataḥa yaftaḥu yang membawa maksud membuang penutup sesuatu yakni menjadikan sesuatu itu terbuka. Kiranya perkara itu satu permasaalahan maka ianya adalah bermaksud penyelesai masaalah Nama ini adalah berbentuk rangkaian kata. Ianya disebut oleh baginda nabi Muhamad saw dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari [2/1, bil. 4447] dan Al-Tarmizi menukilkan dalam Hadith [2/3, bil. 3125] dimana baginda nabi kita Muhamad saw bersabda Allah swt tidak menurunkan dalam kitab Taurat mahu pun Injil sesuatu yang seumpama Umu Al-Quran Al-Karim dan ianya adalah Saba Al-Mathaniy. Kata Um adalah bermaksud ibu, sementara kitab pula adalah bermaksud buku.[3] Dalam konteks penggunaan masyarakat Arab ianya membawa maksud induk dan teras kepada Ini bererti bahawa Surah Al-Fatihah merupakan induk dan teras kepada keseluruhan kita suci Al-Quran Al-Karim. . Kamus Al-Maaniy, 2010 dibawah senarai kata {Fataha} memberikan pelbagai maksud dalam penggunaan kata ini. Anataranya seperti dalam contoh-contoh berikut 1. {Fataḥa Allah Qalbahu lil ’Amri} bermaksud Allah telah membuka hatinya untuk perkara itu. 2. {Fataḥa alaihi} bermaksud Dia telah membuka dengan erti menyediakan untuknya jalan kebaikan. 3. {Fataḥa baina Al-Khasmain} bermaksud Dia telah membukakan antara dua permusuhan itu. . Kamus Al-Ma’aniy, 2010 dibawah senarai kata {’um} memberikan pelbagai maksud dalam penggunaan kata ini. Anataranya seperti dalam contoh-contoh berikut 1. {’Umm} merupakan kata nama kepada sesuatu yang berada dihadapan. 2. {’umm al-Kitab} adalah merupakan satu istilah dalam bidan Ilmu Fiqh yang merujuk kepada Surah Al-Fatihah Sebagai surah pertama dalam quran. 3. {’umm Al-Quraa} bermaksud Kata istilah yang merujuk kepada Kota Mekkah al-Mukarramah. 4. {’Ummahaat Al-ṣuhuf} bermaksud kata istilah yang merujuk kepada surat khabar yang masyhur di sesuatu tempat. 9 Apabila kita memahami kedudukan Surah ini sebagai teras dan induk kepada kita suci, ianya tidaklah bermaksud “ringkasan atau pun rumusan kepada Al-Quran Al-Karim itu sendiri. Istilah {’Um} juga dianggap berlawanan dengan istilah {Ab} yang bermaksud bapa dan digunapakai untuk merujuk kepada “kepala” bagi sesuatu seperti gelaran istimewa {Abul ’Anbiya} yang bermaksud “bapa kepada segala nabi-nabi Allah swt”. Gelaran ini diberikan oleh baginda nabi kita Muhamad saw kepada Nabi Allah swt Ibrahim. [2/1,, bil. 3370] Nama ini adalah kata nama berangkai. Ianya terbentuk dari perkataan {Saba} yang bermaksud tujuh. Kata {Al-Mathaniy} pula adalah dari kata akar {thiniy} yang bermaksud pujian. Sesuatu perkara itu tidak akan menjadi pujian melainkan ianya diulang-ulangkan atau dimasyurkan. [3] Pujian yang diulang-ulang ini dinamakan sebagai {Al-Mathanii}. Nama ini digunakan oleh baginda nabi Muhamad saw dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari.[2/1, bil. 4447] Nama ini juga tersebut dalam Hadith yang dinukilkan oleh Al-Tarmizi.[2/3, bil. 3125] Kedudukkan ketujuh-tujuh nama pujian dan pujaan yang diulang-ulang itu bolehlah digambarkan seperti dalam gambarajah berikut 10 Gambarajah Tujuh Puji-Pujaan dalam Surah Al-Fatihah Nama ini terbentuk dalam rangkaian kata sifat. Kata {Al-Aziim} adalah kata sifat yang menerangkan perihal kehebatan dan kebesaran Al-Quran Al-Karim. Sementara kata {Al-Quran} adalah bermaksud pembacaan seperti yang tersebut dalam Surah Al-Qiyaamaṯ.[ 18] Jika digabungkan kedua-dua makna tersebut, ini bererti, nama Al-Quran {Al-Aziim} itu bermaksud “Pembacaan yang sangat hebat”.[3] Sesungguhnya nama ini disebut oleh baginda nabi Muhamad saw dalam sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari. [2/1,bil. 4447] Nama ini berasal dari kata akar kepada {raqiya yarqa} yang membawa maksud merawat.[3] Dalam satu peristiwa, sebilangan sahabat Rasulullah saw dalam musafir, mereka melalui satu perkampongan Arab, lantas mereka pun memohon untuk menginap. Penduduk disitu pun bertanya adakah dikalangan kamu orang yang mampu memberikan rawatan? Sesungguhnya ketua kami sedang menderita sakit. Mendengarkan perkhabaran tersebut, seorang daripada salah saorang daripada rombongan itu tadi menyahut Ya! Ada. Maka penduduk kampong itu pun membawa rombongan tersebut menemui ketua mereka yang sakit. 11 Sahabat yang mengaku pandai merawat tadi membacakan Surah Al-Fatihah keatas pesakit tersebut. Selang beberapa ketika selepas itu, pesakit itu pun sembuh daripada sakitnya. Penduduk kampung tersebut menawarkan hadiah sepuluh ekor kambing, tetapi sahabat yang merawat tersebut menolaknya dengan baik. Beliau pun berkata, saya akan memaklumkan peristiwa ini kepada baginda nabi Muhamad saw. Sebaik tiba, beliau pun berkata kepada baginda Ya Rasulallah saw! Demi Allah , saya tidak merawat pesakit itu kecuali dengan membacakan Surah Al-Fatihah. Lantas, baginda tersenyum seraya bersabda tidakkah kamu tahu Surah Al-Fatihah itu satu rawatan?[2/2, bil. 2201] Nama ini adalah merujuk kepada fungsi Surah Al-Fatihah dalam kehidupan umat Islam sebagaimana ianya berfungsi dalam solat yang didirikan. Setiap solat mesti diasaskan diatas pembacaan Surah ini. Tanpa Surah ini bererti tiada solat yang dilaksanakan. Perkataan {Al-Kafiyah} adalah kata adjektif kepada perkataan {kafaa yakfiy} yang bermaksud mencukupi. Ini bererti bahawa Surah Al-Fatihah ini cukup untuk umat Islam dalam melayari kehidupan ini sepenuhnya. Kedudukan ini tidak akan terdapat pada mana-mana Surah yang lain dalam Al-Quran Al-Karim. Diatas hakikat inilah juga bahawa Surah ini dinamakan sebagai Al-Kafiyah. 12 Nama ini merupakan kata adjektif pasif kepada perkataan {naaja yunaaji} yang membawa maksud “menyatakan atau mendedahkan sesuatu rahsia kepada seseorang yang lain”. Dengan ini, maksud nama {Al-Munaaja} ialah rahsia yang didedahkan kepada Allah swt. Dengan kata lain, ianya diertikan sebagai ungkapan-ungkapan yang diajukan kepada Allah swt bagi menyerlahkan rahsia hati yang tersembunyi dan juga yang nyata.[3] 13 Kelebihan Surah Al-Fatihah Daripada perbicangan diatas, jelaslah Surah Al-Fatihah adalah sebuah Surah yang amat istimewa. Walau bagaimana pun, ianya tidak akan memberikan nilai tersebut kiranya pembacaan yang dilakukan tidak memangkinkan ciri tersebut. Dengan kata lain, sesuatu yang hebat dan unik perlukan disiplin atau adab dan tatacara yang membolehkan sesuatu yang dibaca itu berfungsi dengan sempurna. Diatas hakikat inilah, kenapa pembacaan Surah Al-Fatihah perlu dimulakan dengan membaca {Al-’Istiazah}. Dengan kata lain, sesuatu pembacaan perlukan persediaan infra yang sempurna terutamanya membaca Al-Quran Al-Karim secara umumnya dan Al-Fatihah khasnya. Saranan ini juga bertepatan dengan firman Allah swt yang mafhumnya “apabila kamu membaca Al-Quran Al-Karim maka hendaklah kamu memohon perlindungan dengan Allah swt daripada rejaman Shaitan ”.[ 98] Aspek kedudukan pembacaan Al-Fatihah sebagai satu rukun dalam solat sudah cukup kuat untuk setiap umat Islam menyedari status keutamaan yang perlu diberikan kepada Surah ini. Ianya sebagai sesuatu yang wajib dibaca dalam setiap Raka’at Solat yang didirikan adalah merupakan satu keistimewaan yang sangat tinggi yang tidak wajar dipandang sipi oleh sesiapa jua yang melakukannya. Hakikat ini diperkukuhkan pula oleh sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh ramai perawi-perawi Hadith.[2/1, bil. 756] Hadith-hadith tersebut menerangkan bahawa tidak ada sebarang Solat tanpa membaca Surah Al-Fatihah. Ini bererti, Allah swt mewajibkan keatas setiap orang Muslim supaya membaca Surah ini didalam setiap solat. Sebagai umat Islam, kita diwajib mengulangi Surah ini sebanyak 17 kali sehari. Bilangan sebanyak ini menandakan betapa besarnya pengertian yang terkandung dan tersirat di dalam Surah ini. Dengan menyedari hakikat ini, keutamaan perlu diberikan sepenuhnya kepada setiap persoalan yang tersurat mahu pun yang tersirat dalam Surah ini. 14 Kewajipan membaca Surah ini di baca di dalam Solat pastinya berasaskan kepentingan, keutamaan dan hikmah yang tersembunyi di dalam setiap kata dan ungkapan yang membentuk Surah Al-Fatihah ini. Kegagalan memahami hakikat ini pastinya membawa kepada kegagalan yang amat besar. Seseorang yang membaca Surah ini tetapi dengan kefahaman yang kosong pastinya tidak memberikan sebarang kesan dan faedah kepada dirinya di Dunia mahu pun di Akhirat. Seterusnya, apalah ertinya seseorang melakukan Solat tanpa memahami sedikit pun maksud daripada setiap gerak laku dan bacaan solatnya? Sikap seperti ini adalah satu sikap yang pincang. Sebagai manusia terpelajar, seseorang perlu bersikap waras dalam setiap tindak tanduknya. Sesuatu pembacaan yang dilakukan sewajarnya menjadi pemankin kepada pembangunan modal insan yang ada dalam dirinya. Dalam kontek ini, Surah Al-Fatihah adalah merupakan sesuatu yang sangat penting untuk pembentukan personaliti diri seorang Muslim yang sempurna. Bahkan kesan Surah Al-Fatihah dalam pembentukan peribadi Muslim adalah sangat mendasar, asasi dan tidak mungkin dipertikaikan. Ini adalah disebabkan peranan Surah ini sebagai sebuah teks yang meliputi pelbagai nilai dan aspek yang menyeluruh dalam memahami erti kehdupan manusia didunia dan juga di Akhirat nanti. Hakikat ini juga boleh difahami daripada sabda baginda nabi Muhamad saw yang mafhumnya “Demi Allah swt yang jiwaku dalam genggamanNya, sesungguhnya tidak diturunkan sepertinya yakni Surah Al-Fatihah sesuatu pun, sama ada dalam kitab Taurat atau dalam Injil dan juga Zabur. Bahkan dalam Al-Furqan itu sendiri sesuatu yang menyamai atau menyerupai Sab’u Mathaani dan dialah Al-Quran Al-Azim yang di berikan kepadaku”.[2/1, bil. 4474] 15 Kesimpulan Dalam fasal ini, perbincangan utama yang disajikan adalah berkenaan dengan memperkenalkan kedudukan dan keistimewaan surah Al-Fatihah dalam kehidupan Umat Islam. Apa yang paling menarik berkenaan surah ini, ianya telah diberikan pelbagai nama dan gelaran oleh Allah swt dalam kitab suci Al-Quran Al-Karim. Kepelbagaian ini pula bukanlah baru dalam dunia kebudayaan Arab semenjak daripada zaman Jahiliyyah. Ianya juga didokong oleh sifat keanjalan bahasa Arab itu sendiri. Oleh yang demikian, keistimewaan ini perlu dianalisa dengan menyeluruh oleh setiap umat Islam untuk memantapkan lagi kefahaman dan pengenalan terhadap surah ini. Seterusnya, memungkinkan untuk pemakaian atau mengaplikasikan dalam kehidupan harian Umat Islam. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this senarai kata {'um} memberikan pelbagai maksud dalam penggunaan kata iniKamus Al-Ma'aniyKamus Al-Ma'aniy, 2010 dibawah senarai kata {'um} memberikan pelbagai maksud dalam penggunaan kata ini. Anataranya seperti dalam contoh-contoh berikut
The manuscript of Sirr al-Lathīf was Sufism text at early XX century, that proven the existence and dynamic of Sufism thought at Kalimantan, and Nusantara in general. The analysetrhe content of the text, this use Gadamer’s semiphilological hermeneutics analysis. The result of the researchs are firstly, the way verses of the Fatiha are believed in the text to be located in the body organs in human being, has been part of human being, explains that the text is not an interpretation but mystical the Fatiha. Secondly,the elaboration of the prayer sembahyang in the Sirral-Lathīf isunique and couldnpt be found in fiqh schools. He tried to relate the sembahyang as an union of God and slave. And thirdly, elaboration of insānkāmil the perfect man as representation of the perfectman, not different from concepts of script tend to use symbolization toovercomethe limitations ofverbalwordstoreveala Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, and insān kāmil. AbstrakNaskah Sirr al-Lathīf adalah naskah tasawuf pada awal abad XX yang menjadi bukti eksistensi dan dinamika pemikiran tasawuf di Kalimantan, dan Nusantara pada umumnya. Untuk mengkaji kandungan naskah digunakan teknik semi filologis dengan analisishermeneutika Gadamer. Adapun hasil penelitian ini adalah pertama, ayat-ayat surat alFatihah dipercayai terletak pada organ-organtubuh manusia, yang mengisyaratkan bahwa ia sudah built in dalam diri manusia. Dengan demikian, penjelasan ini bukanlah sebuah tafsir, melainkan mistisisasi surat al-Fatihah. Kedua, penjelasan sembahyang salat dalam naskah Sirr al-Lathīf mempunyai kekhasan yang tidak ditemukan dalam penjelasan fikih. Ia mencoba menghubungkan sembahyang sebagai penyatuan antara Tuhan dan hamba. Dan ketiga, penjelasan insān kāmil sebagai representasi dari manusia yang sempurna, tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep dari para sufi mainstream. Namun, naskah ini lebih banyak menggunakan simbolisasi untuk menggambarkan keterbatasan kata-kata verbal untuk mengungkapkan hubungan yang sangat intim tersebut. Kata kunci Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, dan insān kāmil. Figures - uploaded by Sulaiman SulaimanAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Sulaiman SulaimanContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman77AJARAN TASAWUF DALAM NASKAH SIRR AL-LATHĪF The sufi sm teaching in the Sirr Al-LathīfSULAIMANFakultas Ushuluddin IAIN Walisongo SemarangKampus II, Jl. Prof. Dr. Hamka Ngaliyan-SemarangTelp. 024 7601294e-mailalkumayi97 diterima 21 Januari 2014 Naskah direvisi 19-31 Mei 2014Naskah disetujui 18 Juni 2014ABSTRACTThe manuscript of Sirr al-Lathīf was Sufi sm text at early XX century, that proven the existence and dynamic of Sufi sm thought at Kalimantan, and Nusantara in general. The analysetrhe content of the text, this use Gadamer’s semiphilological hermeneutics analysis. The result of the researchs are fi rstly, the way verses of the Fatiha are believed in the text to be located in the body organs in human being, has been part of human being, explains that the text is not an interpretation but mystical the Fatiha. Secondly, the elaboration of the prayer sembahyang in the Sirral-Lathīf isunique and couldnpt be found in fi qh schools. He tried to relate the sembahyang as an union of God and slave. And thirdly, elaboration of insānkāmil the perfect man as representation of the perfect man, not different from concepts of mainstreamsufi .The script tend to use symbolization toovercomethe limitations ofverbalwordstoreveala Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, and insān Sirr al-Lathīf adalah naskah tasawuf pada awal abad XX yang menjadi bukti eksistensi dan dinamika pemikiran tasawuf di Kalimantan, dan Nusantara pada umumnya. Untuk mengkaji kandungan naskah digunakan teknik semi fi lologis dengan analisis hermeneutika Gadamer. Adapun hasil penelitian ini adalah pertama, ayat-ayat surat al-Fatihah dipercayai terletak pada organ-organ tubuh manusia, yang mengisyaratkan bahwa ia sudah built in dalam diri manusia. Dengan demikian, penjelasan ini bukanlah sebuah tafsir, melainkan mistisisasi surat al-Fatihah. Kedua, penjelasan sembahyang salat dalam naskah Sirr al-Lathīf mempunyai kekhasan yang tidak ditemukan dalam penjelasan fi kih. Ia mencoba menghubungkan sembahyang sebagai penyatuan antara Tuhan dan hamba. Dan ketiga, penjelasan insān kāmil sebagai representasi dari manusia yang sempurna, tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep dari para sufi mainstream. Namun, naskah ini lebih banyak menggunakan simbolisasi untuk menggambarkan keterbatasan kata-kata verbal untuk mengungkapkan hubungan yang sangat intim tersebut. Kata kunci Sirr al-Lathīf, Yahya, Gadamer, wujudiyah, dan insān kāmil. Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9078PENDAHULUANNaskah tulisan tangan manuscript merupakan salah satu bentuk khazanah budaya, yang mengandung teks tertulis mengenai berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, serta perilaku masyarakat masa lalu. Dibandingkan dengan bentuk-bentuk peninggalan budaya material non-tulisan di Indonesia, seperti candi, istana, masjid, dan lain-lain, jumlah peninggalan budaya dalam bentuk naskah jelas jauh lebih besar Fathurahman, 2008 17; Ikram, 1997 24. Naskah—yang sejauh ini masih sering diabaikan keberadaannya, dan hanya mendapatkan perhatian dari kelompok orang tertentu saja, khususnya para fi lolog dan pustakawan—sesungguhnya menyimpan makna dan dimensi yang sangat luas karena merupakan produk dari sebuah tradisi panjang yang melibatkan berbagai sikap budaya masyarakat dalam periode tertentu Fathurahman, 2008 17. Melalui naskah inilah, kita dapat menguak sejumlah informasi masa lampau mengenai berbagai segi kehidupan keagamaan, termasuk ajaran tasawuf Baried, 1994 11, yang merefl eksikan pemikiran yang sangat orisinil Hadi WM, 2001 3.Naskah-naskah lama yang berisi ajaran tasawuf tersebut menginformasikan bahwa kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan merupakan hasil dari proses akulturasi manusia Indonesia dengan peradaban Islam Sedyawati, 2000. Apalagi, diketahui bahwa sejak abad ke-13, bangsa Indonesia telah didatangi oleh para ulama sufi yang dalam proses penyebaran Islam banyak pula menghasilkan berbagai tulisan, yang kini tersimpan dalam bentuk naskah, menyangkut ajaran-ajaran tasawuf yang mereka sampaikan kepada masyarakat setempat Fathurahman, 2008 18; Azra, 1994 32. Salah satu naskah yang berisi ajaran tasawuf itu adalah Sirr al-Lathīf karya al-Haj Muhammad Yahya bin al-Haj Muhammad Thahir al-Banjari. Kehadiran naskah ini sekaligus menjadi bukti eksistensi dan dinamika pemikiran tasawuf di Kalimantan. Deskripsi Naskah Penulis menemukan naskah Sirr al-Lathīf pada 30 Juli 2008, dari seorang guru bernama Dimansyah, di Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Menurut pengakuan Dimansyah, naskah ini diperolehnya dari Martapura Kalimantan Selatan. Secara fi sik, naskah ini berbentuk persegi panjang dan berwarna putih. Berbahan dasar dari kertas dengan ukuran 16 cm x 21 cm. Teks ditulis tangan dengan memakai tinta dawat biasa dikenal sebagai tinta Cina warna hitam dan menggunakan huruf Arab Melayu Jawi, dengan tebal 52 halaman. Di bagian sampul tertera nama penulis naskah, dan penyelesaian penulisannya pada tahun 1913. Naskah ini kemudian disalin oleh Bahrun bin Muhammad Dhaman, yang diselesaikannya pada 18 Rabi al-Awwal 1402 H/3 Januari 1983. Di bagian pendahuluan tertulis sebagai berikut“Bism Allāh al-Rahmān al-Rahīm. Inilah Kitāb Risālah Sirr al-Lathīf, pasuratan al-Haj Yahya bin al-Marhum al-Haj Muhammad Thahir Banjari yang disurat oleh beliau dalam bentuk pasuratan pada tahun 1913 M. Disalin dari Kitab aslinya kepunyaan cunda Hatta Jiddin bin Yahya. Tabuh Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan yang menyalin faqīr lagi haqīr Allāh Bahun bin Muhammad Dhaman. 18 Rabi al-Awwal 1402 H/3 Januari 1983.”Selain itu, dijelaskan pula alasan penulisan naskah. “....setelah menukil dari beberapa persuratan yang hampir-hampir sudah lanyap karena kurang gamarnya para saudara-saudaraku kaum Muslimin muslimat mempelajarinya. Selain daripada itu sesudah hamba mempelajarinya kepada guru kami yaitu Abdul Karim al-Hadi mulanya hal-hal hakikat dan marifat, maka hamba buatlah kesimpulan sebagaimana termuat dalam risalah ini yang kami namai Sirr al-Lathīf yakni risalah rahasia yang halus-halus. Harapan hamba semoga bermanfaat bagi ahlinya yang gemar mempelajari jalan syariat dan marifat.” Dengan menganalisis kata-kata “maka hamba buatlah kesimpulan” dari pernyataan di atas, dapat dipastikan bahwa naskah ini memang Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman79merupakan ringkasan dari beberapa kitab yang dibaca oleh penulisnya. Karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam uraiannya penulis sering kali menggunakan kata-kata yang ringkas dan kadang-kadang menggunakan simbol-simbol, sehingga perlu interpretasi agar dipahami maksud yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana dikatakan oleh penulisnya, naskah ini ditujukan kepada mereka yang “gemar”; maka yang dimaksud di sini adalah mereka yang berkemampuan khusus dalam jalan spiritual tasawuf. Bisa diduga bahwa mereka yang mempelajari naskah ini memang mereka yang sudah menjalankan syariat dengan benar, dan kemudian melanjutkan pencarian spiritual untuk menemukan hakikat diri dan Tuhan; atau mereka yang sudah mempunyai pemahaman yang baik tentang tasawuf dan sudah mempraktikkannya sehingga ajaran yang terkandung di dalamnya akan dengan mudah dipahami dan dijalankan. Penulis mencantumkan sejumlah nama yang menjadi rujukan dalam penyusunan naskahnya. Mereka adalah 1 Haji Muhammad Arsyad Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, 2 Haji Abdul Hamid Syekh Abdul Hamid Abulung, 3 Haji Muhammadullah, 4 Haji Abdul Ghafur, 5 Tuan Syarif Karim, yang telah mutamad-kan dengan Imam Syafi i rahmatullah dimusyawarahkan bersama dengan sebagaimana tercantum namanya di bawah ini Syekh Abdullah, Syekh Alassalam, Imam Ibnu Hajar, Imam Rahmadi, Imam Ghazali, Imam Nawawi, Imam Syafi i, Imam Subaqti, Imam Asyari, Imam Zurkani, Haji Muhammad Nur, dan Haji Jamal penghulu di Tenggarong pada tahun 1902. Tampaknya dengan memaparkan sejumlah nama tokoh—yang sebagian merupakan ulama-ulama yang sudah dikenal di dunia Islam—penulis ingin menegaskan bahwa ajaran yang terkandung dalam naskahnya ini bukanlah karangannya, melainkan bersumber dari para ulama otoritatif tersebut. Sistematika penulisan ajaran tasawuf dalam naskah ini dibagi dalam empat bagian; bagian pertama terdiri dari cover, kata pengantar, dan menguraikan tentang penjelasan mistis empat surah pokok QS. al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas h. 1-5; bagian kedua membahas tentang Nur Muhammad dan hakikat sembahyang. Di bagian ini uraiannya singkat dan penuh dengan gambar-gambar simbolik h. 6-11; bagian ketiga membahas tentang rahasia zikir h. 12-14; dan bagian keempat membahas tentang amal marifat yang di dalamnya berisi tentang hakikat diri dan Tuhan serta hubungan hamba dengan Tuhan, dan kemudian ditutup dengan uraian tentang al-haqīqah Muhamadiyah insān kāmil. Kajian terhadap naskah-naskah dengan tema sejenis dengan naskah Sirr al-Lathīf dapat dijumpai dari beberapa penelitian sebelumnya, antara lain Nurbini 1999 yang meneliti naskah Ajaran Ma’rifatullah Panglima Utar; lalu disusul oleh Sulaiman 2001 dengan naskah yang sama namun dengan analisis yang lebih mendalam. Dari segi isinya naskah Panglima Utar ini berbeda jauh dengan naskah Sirr al-Lathīf. Karena itu, kajian terhadap kandungan naskah ini memang perlu dilakukan sehingga terkuak ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. METODE PENELITIANMembaca Naskah Sirr al-LathīfDalam penelitian ini, peneliti menggunakan naskah tunggal, yakni Sirr al-Lathīf dengan meminjam teknik semi fi lologis. Merujuk pendapat Prof. Dr. Mudjahirin Thohir 2013, naskah ini haruslah dipahami sebagai sebuah produk budaya yang di dalamnya penuh dengan makna-makna simbolik yang perlu ditafsirkan untuk memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan ini, ketika tahapan dalam fi lologi itu terlampaui, atau zaman telah berubah, serta perhatian para fi lolog telah berkembang jauh, maka ilmu fi lologi juga diarahkan kepada bagaimana memahami isi naskah itu sendiri. Dalam konteks seperti ini, maka untuk memahami kandungan-kandungan teks dibutuhkan disiplin ilmu-ilmu lain, seperti linguistik, sastra, sosiologi, antropologi, semiotika, dan lain-lain. Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9080Dalam menangani naskah Sirr al-Lathīf ini, peneliti mengikuti saran Nabilah Lubis 1996 88-89. Nabilah Lubis menyarankan dalam menangani naskah tunggal, peneliti yang ingin mengedit naskah memiliki dua pilihan, yaitu mengadakan edisi diplomatik atau edisi standar. Edisi diplomatik ialah suatu cara mereproduksi teks sebagaimana adanya tanpa ada perbaikan atau perubahan dari editor. Model yang paling sesuai dengan ini adalah naskah direproduksi secara fotografi s. Hal ini penting, jika peneliti ingin menampilkan teks yang diperoleh persis sebagaimana adanya. Tetapi bagi pembaca modern, metode ini tidak memberikan informasi yang membantu dalam upaya memahami teks tersebut. Sedangkan dalam edisi standar, ada suatu usaha perbaikan dan meluruskan teks sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang timbul ketika proses penulisan. Tujuannya ialah untuk menghasilkan suatu edisi yang baru dan sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat, misalnya, dengan mengadakan pembagian alenia-alenia, pungtuasi, huruf besar dan kecil, membuat penafsiran interpretation setiap bagian atau kata-kata yang perlu penjelasan, sehingga teks tampak mudah dipahami oleh pembaca modern. Sungguh pun demikian yang harus diingat bahwa editor harus bertanggung jawab terhadap semua perbaikan atau penafsiran yang diadakan, dan harus menyebut sumbernya; apakah berdasarkan kaedah gramatika, atau fakta sejarah, dan sebagainya. Berdasarkan saran Nabilah Lubis tersebut, pe-nelitian ini memilih edisi standar yang memung-kinkan peneliti untuk melakukan penafsiran terh-adap isi naskah Sirr al-Lathīf. Untuk melakukan penafsiran, peneliti merujuk pendapat Jacques Derrida. Dengan merujuk Derrida ini, naskah Sirr al-Lathīf diposisikan bukan bentuk artefak yang mati. Teks diposisikan sebagai sebuah proses yang terbuka terhadap segala kemungkinan. Teks yang terhenti pada sebuah pemaknaan tidak akan terbuka dan berkembang, karena ada kekuatan yang ada dalam sebuah teks, yaitu teks mempu-nyai watak yang terbuka dan jalin-menjalin, ter-hubung dengan teks-teks lain intertektualitas dan selalu berproses. Dari proses tanpa akhir dan tanpa tujuan inilah teleology dipahami sebagai teks yang mengarah ke depan yang tak terbatas dan tak mungkin untuk direalisasikan sepenuh-nya sekarang ini; teks yang bergerak dalam lin-tasan struktur yang terbuka pada masa depan dan menolak dihadirkan pada masa kini in prasen-tia; teks yang menunda dan mendeferensiasi ke-hadiran Al-Fayyad, 2005 68. Teknik analisis teks yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan analisis hermeneutik, yakni “studi pemahaman” atau “teori tentang fi lsafat interpretasi makna” Wollf, 1991 188. Menurut Hans-Georg Gadamer, maksud sebuah teks harus dibedakan dari maksud pengarangnya. Teks bersifat otonom, teks mempunyai kehidupan sendiri, lepas dari penulis dan pembacanya Baried, 1994 20. Interpretasi teks itu oleh seorang pembaca tidak dapat tidak berarti pemberian makna sesuai dengan situasi si pembaca. Interpretasi teks selalu merupakan Horizontverschnelzung atau pembauran cakrawala Wollf, 1991 189, yakni dalam proses pemahaman oleh seorang pembaca berlangsung pembauran cakrawala, perpaduan antara cakrawala masa lampau saat teks itu tercipta dan cakrawala masa kini si pembaca Teeuw, 1984 174. Berkaitan dengan ini, untuk menggali isi teks diperlukan interpretasi. Menurut Gadamer, interpretasi, selalu merupakan interpretasi sirkuler. Manusia hanya dapat memahami masa lalu, teks, orang lain dari pusat pandangan manusia itu dan dari sejarahnya sendiri. Interpretasi selalu bersifat perspektival karena interpretasi selalu dibatasi oleh horison atau cakrawala peneliti yang hidup pada saat sekarang. Interpretasi tidak akan pernah sampai pada interpretasi yang menyeluruh, karena perhatian peneliti hanya diarahkan pada elemen-elemen yang berkaitan dengan interest kontemporer si peneliti. Hasil maksimal dari interpretasi adalah fusion of horizons atau bertemunya cakrawala masa lalu ketika teks diciptakan dan masa kini saat teks ditafsirkan Wollf, 1991 189. Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman81Berdasarkan kerangka teoritis hermeneu-tik Gadamer, maka dapat ditetapkan kerangka penafsiran naskah Sirr al-Lathīf sebagai berikut Pertama, dilakukan transliterasi naskah Sirr al-Lathīf dari huruf Arab ke huruf Latin dan alih bahasa dari teks berbahasa Melayu ke teks ber-bahasa Indonesia. Alih bahasa teks ini penting karena bahasa merupakan jembatan pengalaman hermeneutik dan interpretasi. Kedua, upaya un-tuk membangun pra-anggapan prejudice adalah dengan cara melakukan penelitian kepustakaan yang berkaitan dengan subject matter penelitian ini. Ketiga, interpretasi dapat terjadi apabila ber-langsung fusion of horizons. Upaya untuk menca-pai hal itu adalah dengan cara membandingkan pokok-pokok pemikiran dalam naskah Sirr al-Lathīf dengan karya penulis lain yang memba-has pokok-pokok pemikiran sejenis dan mewakili cakrawala pemikiran saat ini. Melalui cara seperti ini, akan terjadi pembauran cakrawala pemikiran pada masa ketika naskah Sirr al-Lathīf diciptakan dan cakrawala pemikiran pada masa teks ini di-tafsirkan sehingga dapat dirumuskan suatu rele-vansi kandungan nilai-nilai budaya dalam naskah tersebut dengan tata kehidupan sosial masyarakat dewasa ini setting. Untuk itu perlu ada pengeta-huan tentang setting NaskahSosok pengarang Sirr al-Lathīf memang tidak terungkap. Satu-satunya petunjuk yang dapat membantu adalah mengenai tempat dan tanggal penulisan naskah. Tempatnya adalah Tabuh, Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan; sedangkan penanggalannya juga jelas, penulis menyelesaikannya pada tahun 1913, kemudian naskah tersebut disalin oleh cucunya dan selesai pada tahun 1983. Dengan merujuk keadaan ini dapat diperkirakan bahwa pemikiran tasawuf yang terdapat di dalam naskah ini sangat dipengaruhi oleh dinamika pemikiran yang terjadi di Kalimantan Selatan pada saat itu, dan Nusantara di awal abad Selatan sebagai bagian dari tradisi budaya Melayu memiliki kekayaan naskah yang tidak sedikit, dan keberadaannya memiliki kaitan yang erat dengan persebaran dan pengaruh ajaran Islam abad XIV M. Abad ini jauh sebelum berdirinya Kerajaan Islam Banjar dengan raja pertamanya Sultan Suriansyah. Hal tersebut karena ada dua abad sebelum Kerajaan Banjar berdiri di sekitar Kuwin sudah terdapat pemukiman penduduk yang beragama Islam. Barangkali kelompok penduduk yang dikenal sebagai Oloh Masih atau Orang Melayu yang tinggal di sekitar Kuwin telah mengenal agama Islam, atau mungkin sudah beragama Islam Masfi ah, 2009 3.Penyebaran Islam di Kalimantan Selatan lebih meluas setelah berdirinya Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Sultan Suriansyah sebagai raja pertama yang memeluk Islam sekitar abad XVII. Bantuan dari Kerajaan Islam Demak dan hubungan Islam dengan pantai utara Jawa Timur, Gresik, Tuban, dan Surabaya mempercepat proses penyebaran Islam di Kalimantan Selatan. Pada abad XVII ini pula dalam wilayah Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran yang berkembang di Aceh. Kegiatan para ulama dan para juru dakwah dari Kerajaan Aceh telah merambah ke mana-mana termasuk dalam wilayah Kerajaan Banjar, di samping Sumatra sendiri dan Malaysia. Kedudukan Kerajaan Aceh juga menentukan, karena Aceh merupakan terminal bagi jamaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci atau bagi mereka yang kembali ke Tanah Air. Sebelum munculnya kapal api, para jamaah haji atau para pelajar yang akan belajar ke Tanah Suci, berdiam di Aceh beberapa lama menunggu angin baik untuk melanjutkan pelayaran, begitu pula bagi mereka yang akan pulang ke Tanah Air, khususnya daerah bagian timur dari kepulauan Nusantara berada di Aceh, mereka mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan atau mengikuti pengajian-pengajian, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pemikiran mereka. Perkembangan pemikiran keagamaan yang sudah mendapat pengaruh Aceh, mengalami beberapa tahap pekembangan, yaitu a paham dasar keagamaan yang mewarnai pemikiran Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9082keagamaan di dalam Kerajaan Banjar adalah yang berasal dari Jawa, yaitu Demak atau Giri yang hanya menyangkut prinsip-prinsip dasar sesuai dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah dalam akidah dan paham Syafi iyah dalam bidang hukum, serta tasawuf akhlak. Di sini tidak terlihat tanda-tanda bahwa ajaran kejawen turut masuk ke wilayah Kerajaan Banjar; b. Paham mistik/sufi sme yang berasal dari Hamzah Fansuri sudah memasuki praktik keagamaan di dalam Kerajaan Banjar beberapa saat setelah penduduk memeluk agama Islam dan sudah ada yang berangkat ke Aceh dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Paham ini tampaknya dominan sebagaimana terlihat pada Syekh Ahmad Syamsuddin al-Banjari yang ternyata sudah menggeluti persoalan tentang kejadian Nur Muhammad, salah satu prinsip dasar sari ajaran tasawuf wahdah al-wujud; dan c sebagai reaksi yang muncul di Aceh yaitu berkembangnya faham sufi sme dari Hamzah Fansuri, maka kelompok pemikiran Nuruddin al-Raniri yang menentangnya juga mendapat simpati dari rakyat Kerajaan Banjar Masfi ah, 2009 4-5; Abdurrahman, 1989.Pada abad ke-17 ini pula terdapat peristiwa yang menandai adanya hubungan yang harmonis antara Aceh dan Banjar. Pada waktu itu seorang yang hidup dalam Kerajaan Banjar di Martapura telah menyusun sebuah kitab ilmu tasawuf tentang Asal Kejadian Nur Muhammad yang dipengaruhi ajaran Ibn Arabi, aliran wahdah al-wujud. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-17 wilayah Kerajaan Banjar sudah menunjukkan berkembangnya aliran tasawuf secara dominan sampai melahirkan seorang ulama terkemuka di bidang tersebut dan mampu mengarang sebuah kitab yang cukup berat. Kitab tasawuf tersebut dihadiahkan pengarangnya kepada Ratu Aceh Masfi ah, 2009 5.Merujuk penelitian Winstedt menyebutkan bahwa pembicaraan tentang Nur Muhammad telah dibahas oleh seorang ulama Banjar, Syamsuddin, yang menyelesaikan tulisannya pada tahun 1688 dan menghadiahkannya kepada Sultan Tajul Alam Syafi atuddin yang memerintah di Aceh. Meskipun pada masa pemerintahan Sulthanah Seri Tajul Alam Syafi atuddin Johan Berdaulat puteri dari Sultan Iskandar Muda memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1050-1085 H/1641-1675 M, seorang Ratu yang loyal terhadap ajaran-ajaran wujudiyah yang berkembang di sana yang semula mendapat banyak tekanan. Maka, dirikimkannya naskah yang ditulis oleh Syamsuddin kepada Kerajaan Aceh khusus untuk Ratu, menunjukkan hubungan timbal balik yang dengan dua kerajaan Banjar dan Aceh. Hal ini mungkin disebabkan oleh kegiatan-kegiatan ulama Aceh, seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, di satu sisi yang dianggap penyebar wujudiyah, dan Nuruddin al-Raniri di sisi lain yang menentang wujudiyah. Dua kelompok tasawuf ini mempunyai pengaruh yang sangat besar di wilayah Kerajaan Aceh, dan keduanya pun sempat terlibat dalam konfl ik berdarah. Meskipun demikian, pengaruh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani sudah masuk ke wilayah Kerajaan Banjar dibuktikan dengan munculnya dua tokoh tasawuf penting Syekh Ahmad Syamsuddin al-Banjari abad XVII dan Syekh Abdul Hamid Abulung abad XVIII Zamzam, 1979; Suriadi, 1998 dan 2007. Setelah masa Syekh Ahmad Syamsuddin, muncullah tokoh ulama sufi selanjutnya, yaitu Syekh Muhammad Nafi s al-Banjari. Beliau termasyhur dengan karyanya al-Durr al-Nafi s Bayan Wahdat al-Afal wa al-Asma’ wa al-Shifat wa al-Zat al-Taqdis. Syekh Nafi s dilahirkan pada 1148 H/1735 M di Martapura dari keluarga bangsawan Banjar. Ia hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Azra, 1994 255. Disusul tokoh sufi lainnya, Syekh Abdul Hamid Abulung. Hingga saat ini tidak diketahui tanggal kelahirannya, tetapi ia sezaman dengan Syekh Nafi s dan Syekh Arsyad. Syekh Abdul Hamid membawa ajaran tasawuf yang dikenal dengan ajaran Ilmu Sabuku. Pemikiran tasawufnya tentang Tuhan dan manusia lebih mengarah kepada wahdah al-wujud-nya Ibnu Arabi, bukan pada pemikiran tasawuf al-Ghazali Sahriansyah, 2009. Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman83Pemikirann ketiga tokoh sufi Syekh Syamsuddin, Syekh Abdul Hamid, dan Syekh Nafi s, telah membuktikan adanya keragaman corak pemikiran tasawuf di Kalimantan Selatan yang seakan-akan “mondar-mandir” antara tasawuf falsafi dan tasawuf sunni. Syekh Syamsuddin dan Syekh Abdul Hamid mengusung corak pemikiran tasawuf falsafi , sedangkan Syekh Nafi s mengedepankan pemikiran tasawuf sunni. Meskipun sesungguhnya Syekh Nafi s juga cenderung ke tasawuf falsafi .Dalam sejarah pemikiran tasawuf di Kalimantan Selatan memang sudah ada upaya “penjinakan” terhadap tasawuf falsafi model Syekh Abdul Hamid pada masa Syekh Arsyad pada abad ke-18, yang kemudian memunculkan apa yang disebut oleh Azyumardi Azra sebagai neo-sufi sme di Kalimantan Selatan yang memiliki perhatian tinggi terhadap syariah Azra, 1994 266. Menurut Rahmadi, pada abad ke-19, corak pemikiran Islam hampir sepenuhnya diwarnai oleh ajarah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Kecenderungan ini kemudian diperkokoh pada masa berikutnya, di mana sejumlah referensi dan produk pemikiran yang bermunculan pada abad ke-20 digunakan untuk terus memperkokoh corak tersebut dan mempertahankannya sebagai arus utama pemikiran Islam di Kalimantan Selatan Rahmadi, 2012 1. Namun, pada abad ke-20 juga gelombang pembaruan yang melanda wilayah ini menjadi ujian berat terhadap pemikiran arus utama mainstream ketika para “kaum muda” bermunculan dan organisasi keagamaan berhaluan reformis mulai menggugat corak pemikiran Islam yang sudah mapan. Gugatan ini tentu saja mendapat perlawanan dari para ulama Banjar arus utama’ sehingga terjadilah polemik pemikiran di kalangan mereka. Beberapa literatur keagamaan yang ditulis oleh ulama Banjar yang muncul sepanjang abad ke-20 bahkan pada awal abad ke-21 merupakan wujud nyata dari “perlawanan” terhadap gugatan itu Rahmadi, 2012 1-2.Khusus di abad ke-20, sufi sme al-Ghazali tampak lebih dominan di Kalimanta Selatan sehingga muncul kesan bahwa tasawuf falsafi sudah ditinggalkan. Padahal anggapan ini tidak semuanya benar, karena bersamaan dengan gerakan pen-sunni-an tasawuf, tasawuf falsafi juga tetap melakukan gerakan yang sama meskipun dilakukan secara diam-diam dan cenderung bergeser ke tempat-tempat yang jauh dari pusat kekuasaan, terutama pedalaman Kalimantan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya naskah Sirr al-Lathīf ini. Dengan mengetahui setting yang meling-kari lahirnya naskah Sirr al-Lathīf di atas akan diketahui sebab-sebab pemikiran yang ada di da-lamnya dan kemudian mencoba “membaca” dan menganalisisnya agar diketahui kandungannya. Dalam artikel ini, kami akan memaparkan kan-dungan naskah dengan bertumpu pada tiga per-tanyaan penelitian 1 bagaimanakah konstruk mistisisasi surah al-Fatihah dalam naskah terse-but?; 2 bagaimanakah relasi puji memuji Tuhan dan hamba yang dilambangkan dalam sembahy-ang?; dan 3 bagaimanakah deskripsi tentang manusia sempurna insān kāmil?HASIL DAN PEMBAHASANKonstruk Mistisisasi surat al-Fatihah Built in Dalam TubuhSurat al-Fatihah dalam naskah Sirr al-Lathīf ditempatkan di bagian awal setelah halaman sampul. Penempatan ini tentunya ada maksud-maksud tertentu, misalnya, untuk menyatakan bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan al-Fatihah, atau mungkin juga ada pemahaman bahwa al-Fatihah itu adalah induk segala surat. Berkaitan dengan surat ini, penjelasan yang diberikan memang bukanlah merupakan sebuah tafsir sebagaimana lazimnya, tetapi cenderung mengarah pada pemahaman mistik dan berujung pada pengalaman mistik. Dengan kata lain, penjelasan surat ini lebih tepat dipandang sebagai ekspresi dari pengalaman mistik seorang sufi . Inilah yang disebut mistisisasi surat Schimmel 1975 membagi pe-ngalaman mistik itu menjadi dua jenis yaitu yang berupa mistisisme ketakterhinggaan mysticism of Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9084Infi nity dan mistisisme kepribadian mysticism of Personality. Pengalaman pertama dapat dijumpai pada model ajaran Plotinus atau Upanishad dan dalam Islam dapat kita temui pada ajaran Ibn Arabi. Pengalaman ini kerap digambarkan sebagai lautan tak bertepi dimana manusia diibaratkan sebagai tetesan air yang tenggelam di dalamnya. Kerap juga digunakan perumpamaan bagai gurun luas dimana manusia ibarat debu di dalamnya. Bentuk pengalaman semacam ini kerap menuju pada suatu paham yang biasa mendapat sebutan pantheisme atau monisme yang kerap mendapat serangan akibat hancurnya pertanggungjawaban individu pada pemahaman seperti itu. Bentuk pengalaman kedua dapat dijumpai pada banyak sufi dimana hubu-ngan antara manusia dengan Tuhan digambarkan sebagai hubungan antara ciptaan dengan Penciptanya, hubungan antara budak dengan Tuannya dan antara pecinta dengan yang puncak pengalaman mistiknya, para sufi sering mengalami situasi yang mereka percaya pada saat itu mereka sedang berjumpa dengan Tuhan. Ungkapan-ungkapan yang tak lazim kadang keluar pada saat puncak pengalaman tersebut. Suatu keadaan yang kerap disebut sebagai keadaan syath. Meskipun mengundang banyak hujatan, para sufi dapat mencari pembenaran dengan menyandarkan pada pengalaman Nabi dalam mengungkapkan hadis qudsi sebagai pengalaman serupa dengan shath tersebut Ernst, 2003 29. Ekspresi ekstase shath tersebut merupakan salah satu kunci penting dalam memahami ajaran sufi sme. Bagi mereka yang mendukung, syatiyat dianggap sebagai jalan memahami wahyu Tuhan sedangkan bagi mereka yang menolak menganggap hal itu sebagai parodi kitab suci yang mengumpat dari penjelasan di atas, maka dipahami jika ayat-ayat al-Fatihah ditempatkan di bagian-bagian tubuh tertentu, sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut Letak Ayat-ayat dalam Surat Al-Fatihah pada Bagian-bagian Tubuh TertentuAYAT LETAKNYA DALAM TUBUHBism Allāh ar-Rahmān ar-Rahīmotak/ruhal-Hamdu li Allāhmuka rabb al-ālamīntelinga kananar-Rahmāntelinga kiriAr-Rahīmtangan kanan dan kirimālik yawm ad-dīnbelakang iyyāka na’budu Leherwa iyyāka nasta’īnDadaihdinā ash-shirāth al-mustaqīmurat dan lidahshirāth al-ladzīna Pusatan’amta alaihim kaki kanan dan kirigair al-maghdūbi Empedualaihim Kurawalā adh-dhāllīnHatiāmīnJantungDengan pemahaman tersebut, surat ini sudah ada di dalam built in diri manusia. Di tingkat lokal memang muncul kata-kata “al-Fatihah da-lam diri”, yang merefl eksikan pemahaman kog-nisi masyarakat lokal bahwa surah ini sudah ter-tanam dalam diri manusia, dan karenanya kewa-jiban bagi manusia untuk mengetahui dan meng-hayatinya. Dengan demikian, Yahya tidak berbi-cara tentang penafsiran surat al-Fatihah, tetapi ia berbicara tentang mistisasi surat tersebut. Selain ayat-ayat al-Fatihah yang terletak di bagian tubuh tertentu, di Kalimantan ditemukan juga kepercayaan huruf-huruf hijaiyah terletak di bagian-bagian tubuh tertentu. Kepercayaan ini dikenal dengan sebutan Ilmu Alif. Dipercayai bahwa manusia di alam akhirat akan wujud dalam berbagai keadaan. Supaya badan manusia berwujud seperti keadaannya di dunia, maka diamalkanlah Ilmu Alif tersebut. Ilmu ini diamalkan setiap salat. Jika seseorang tidak mengingatnya, maka ia akan kehilangan anggota tubuh di akhirat. Alif antara dua keningku baitullah di badanku; Bā kening kananku; Tā kening kiriku; Tsā dahiku; Jīm ubun-ubunku pintu Ka’bah di badanku; Hā bahu kananku; Khā bahu kiriku; Dāl kaki kananku; dzāl kaki kiriku; Rā rusuk kananku; Zai rusuk kiriku; Sīn susu kananku; Syīn susu kiriku; Shād Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman85telinga kananku; Dhād telinga kiriku; Thā mata kananku; Zhā mata kiriku; ain tangan kananku; Ghīn tangan kiriku; Fā pinggang kananku; Qāf pinggang kiriku; Kāf belakang kananku; Lām belakang kiriku; Mīm mukaku; Nūn otakku; Wawu pusatku, batu bergantung di badanku; Hā hatiku Ka’bah di badanku; Lām alif sulbiku arsy dan kursi di badanku; Hamzah jantungku; Yā nyawaku utama Muhammad rahasia Allah di badanku Hermansyah, 2010 119.Kembali kepada Naskah Sirr al-Lathīf. Dengan mistisisasi surat al-Fatihah seperti disebutkan di atas, Yahya juga menambahkan penjelasannya bahwa saat membaca surah ini dalam sembahyang berarti memuji diri sendiri. Karena itu, tegas Yahya“Jadi kita berdiri sembahyang itu membaca al-Fatihah adalah sebenarnya memuji diri sendiri. Apabila tidak sembahyang berarti orang itu durhaka kepada ibu bapaknya, kepada Nabinya, kepada Datu Adam. Alamat neraka yang akan didapat.” Sirr al-Lathīf 2.Mereka yang mendirikan sembahyang dengan membaca surah al-Fatihah, maka pada esensinya ia sedang mengenal dirinya sendiri yang berarti akan mengenal Tuhannya sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadis terkenal “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” “barangsiapa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya”. Hadis ini difahami oleh para sufi sebagai bagian yang sangat penting al-Kurdī, 1995 483. Menurut Seyyed Hossen Nasr 2007 5, pengetahuan diri akan mengantarkan pada pengetahuan tentang Tuhan. Tasawuf memandang serius hadis ini dan juga menempatkannya ke dalam amalan. Ia memberikan, di dalam semesta spiritual tradisi Islam, cahaya yang diperlukan untuk menerangi sudut gelap jiwa kita dan kunci untuk membuka pintu ke relung-relung tersembunyi dari wujud kita sehingga kita bisa berziarah ke dalam diri dan mengenal diri kita sendiri, dan pengetahuan ini pada akhirnya mengantarkan kepada pengetahuan tentang Tuhan, yang bersemayam di jantung/pusat/diri hanya kita ini diciptakan oleh Tuhan, akar keberadaan kita di sini dan pada saat ini pun ada di dalam Dia. Ketika kita bersaksi akan Ketuhanan-Nya sebagaimana yang dimaksud dalam ayat al-Quran, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” QS. al-A’raf [7] 172, dunia dan segala yang ada di dalamnya masih belum dicipta. Bahkan sekarang kita memiliki keberadaan pra-abadi kita di Hadirat Ilahi, dan kita telah membuat perjanjian kekal dengan Tuhan, yang tetap mengikat melampaui kesementaraan kehidupan duniawi kita dan di luar bidang ruang dan waktu tempat kita sekarang menemukan diri kita sendiri Nasr, 2007 5. Selain mengenal diri sendiri’ tersebut, Yahya juga menyatakan bahwa dalam surah al-Fatihah ini, Allah membuka rahasia-Nya kepada hamba-Nya, yaitu Muhammad Atas dasar ini, Yahya mengatakan bahwa antara Allah dan Muhammad itu tidak bercerai. Hal ini dinyatakan di bagian akhir ulasannya terhadap surah al-Fatihah “Ya Muhammad, jika tiada engkau tiada rahasia-Ku dan sekalian umatmu” Sirr al-Lathīf 4 Maksudnya, kalau tidak ada Muhammad niscaya Allah tidak akan pernah membuka rahasia-Nya kepada siapa pun. Rahasia-Nya tetap Dia sembunyikan untuk selama-lamanya Sells, 2004 31. Dari paparan di atas, tampak sekali Yahya memahami al-Fatihah dalam konteks mistik bukan berdasarkan penafsiran sebagaimana lazimnya. Dengan cara baca seperti ini, dapat dipahami jika surah tersebut dijelaskan dengan “menyalahi” metode penafsiran yang sudah mapan dalam studi al-Qur’an. Tentu saja tidak adil jika yang dilakukan Yahya di atas sebagai sebuah tindakan “pelecehan” terhadap al-Qur’an. Ia tidak melecehkan al-Qur’an, tetapi ia memahami Kitab Suci ini dengan cara yang mistik, yakni dengan memahami dimensi-dimensi batin dari fi rman-fi rman Allah itu. Puji-Memuji Tuhan dan Hamba Sembahyang Bagian lain yang diuraikan dalam naskah Sirr al-Lathīf adalah “puji memuji antara Tuhan dan hamba” dalam sembahyang, yang digambarkannya dengan al-Hamdu. Dalam al-Hamdu ini terjadi hubungan timbal balik Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9086pengabdian seorang Nabi kekasih Allah, dan pelakunya umat Nabi Muhammad pun akan merasakan hal yang sama sebagaimana dirasakan oleh Nabi. Pencapaian Manusia Sempurna Insān KāmilBagian akhir dari kandungan naskah Sirr al-Lathīf adalah konsep insān kāmil manusia sempurna. Yang dimaksud insān kāmil adalah manusia yang telah memiliki dalam dirinya hakikat Muhammad, atau disebut juga nur Muhammad atau ruh Muhammad yang merupakan makhluk yang mula-mula dijadikan Allah, dan juga sebagai sebab bagi diciptakannya alam ini. Beberapa hadis yang mendukung ajaran ini, antara lain 1 “Pertama-pertama dijadikan Allah Taala cahayaku, dan pada riwayat lain, ruhku.” ar-Raniri, 1961 147; 2 “Adalah aku Nabi, dan Adam antara air dan tanah.” ar-Raniri, tth 115; 3 Aku dari Allah dan alam dariku.”; ar-Raniri, tth 159; dan 4 “Jikalau tiada engkau, ya Muhammad, niscaya tiada kujadikan segala alam ini.” ar-Raniri, tth 125-126.Jalāl ad-Dīn Rūmī dalam sebuah syairnya juga menyatakan alasan Tuhan menciptakan alam semesta ini karena Nabi Muhammad. Rūmī menyatakanTuhan tidaklah mencipta di bumi atau di langit yang tinggi sesuatu yang lebih gaib daripada ruh telah menyingkapkan rahasia segala sesuatu, baik yang basah maupun yang kering, namun Dia menutup rahasia ruh “ia masuk urusan Tuhanku.”Karena penglihatan Saksi yang mulia melihat ruh itu, maka sia-sialah tetap bersembunyi yang disebut “Yang Maha Adil”, dan Saksi itu milik-Nya Saksi yang adil itu adalah mata Sang Pandangan Tuhan di kedua dunia adalah kesucian hati tatapan Sang Raja tertuju pada orang yang cinta kasih-Nya yang bermain-main dengan kekasih-Nya adalah sumber dari seluruh tabir yang telah Dia karena itu Tuhan kita Yang Maha Pengasih saling memuji antara Tuhan dan hamba. Yahya menyatakan bahwa sembahyang lima waktu keluar dari al-Hamdu, dan al-Hamdu itu adalah kepala al-Qur’an. Kemudian dijelaskan lebih lanjut tentang hubungan sembahyang lima waktu dengan sembahyang zhuhur itu keluar dari alif, empat rakaat yaitu dua telinga dan dua mata, keluar dari cahaya manikam yang kuning; adapun hurufnya cahayanya yaitu paru-paru pada kita. Adapun sembahyang ashar itu keluar dari lam, empat rakaat yaitu dua tangan dan dua kaki; keluar dari cahaya manikam yang merah; hurufnya cahayanya yaitu jantung pada kita. Adapun sembahyang maghrib itu keluar dari ha tiga rakaat, dua lubang hidung dan satu tulang mulut, keluar dari cahaya manikam yang hijau, hurufnya cahayanya yaitu empedu pada kita. Adapun sembahyang isya itu keluar dari huruf mim, empat rakaat, dua susu, satu pusat, dan satu sulbi, keluar dari cahya manikam yang hitam; adapun huruf cahayanya limpa pada kita. Adapun sembahyang subuh itu keluar dari huruf dal, dua rakaat, satu tubuh dan satu nyawa ruh dan jasad, keluar dari cahaya manikam yang putih; adapun huruf cahayanya yaitu hati pada kita Sirr al-Lathīf 7-8.Selanjutnya Yahya menambahkan uraiannya berkaitan gerakan postur sembahyang yang berkaitan dengan Ahmad. Berdiri tegak keluar dari alif ﺍ yang melambangkan sifat api. Ruku keluar dari ha ﺡ melambangkan sifat angin. Sujud keluar dari mim ﻡ yang melambangkan sifat air. Duduk antara dua sujud keluar dari dal ﺩ yang melambangkan sifat tanah. Jadi, yang dinamakan sembahyang itu adalah Ahmad yang representasikan oleh tubuh kasar, yang menyampaikan sembahyang adalah Nur Muhammad, sedangkan yang dituju sembahyang adalah Allāh al-Shamad Sirr al-Lathīf 8. Melalui uraiannya ini, Yahya ingin menegaskan bahwa secara lahiriah sembahyang yang dilaksanakan itu adalah Ahmad, dan Ahmad itu adalah nama lain untuk Nabi Muhammad saw. Mungkin yang dimaksud di sini adalah sembahyang itu hendaknya mengikuti Nabi Muhammad termasuk gerakan, perkataan, dan kekhusyuan beliau saat melaksanakan sembahyang. Di sini, sembahyang itu pada hakikatnya merupakan manifestasi dari ϣ Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman87berfi rman kepada Nabi pada malam miraj “Kalau bukan karena engkau niscaya tidaklah Kuciptakan alam.” Dikutip dari Nicholson, 2002. 104.Uraian di atas menyatakan dengan jelas bahwa Nabi Muhammad atau nur Muhammad telah dijadikan sebelum alam ini, sebelum adanya dalam bentuk seorang Nabi insani. Nur tersebut qadim lagi azali. Nur Muhammad inilah yang selalu berpindah dari generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan lain-lain, kemudian dalam bentuk Nabi penutup, Muhammad saw. Selanjutnya, ia berpindah kepada para imam, dalam kalangan Syiah Imamiyah, dan berakhir pada Imam Mahdi. Di kalangan para sufi , nur tersebut berpindah kepada para wali dan berakhir pada wali penutup khatam auliyā, yakni Nabi Isa yang akan turun pada akhir zaman al-Jīlī, 1975 84.Nur atau ruh Muhammad, dalam tasawuf Ibn Arabi, adalah merupakan wadah tajalli Ilahi yang paling sempurna, dan karena itu ia dipandang sebagai khalifah Ilahi atau Insān Kāmil dalam arti yang paling khas. Ketika bagian-bagian tertentu dari alam ini merupakan wadah tajalli dan sebagian tertentu dari asma dan sifat Allah, maka Insan Kamil itu merupakan satu-satunya wadah tajalli bagi ism al-Jalālah, yakni Allah, yang dipandang sebagai pengikat semua nama dan dari itu, hakikat Muhammad mempunyai dua jalur hubungan hubungannya dengan alam sebagai asas penciptaan dan hubungannya dengan manusia sebagai hakikat manusia. Dari segi hubungannya dengan alam, maka nur Muhammad seperti tersebut dalam hadis, adalah nur yang mula-mula dijadikan Allah dan yang darinya dijadikan alam semesta ini alam jasmani dan alam ruhani. Jadi, nur Muhammad mengandung dalam dirinya apa yang disebut al-ayan al-mumkinah kenyataan yang mungkin, dan dengan fi rman Kun, segala yang berwujud potensial itu beralih kepada wujud aktual dalam bentuk alam empiris ini. Namun, tujuan penciptaan alam belum lagi tercapai, karena alam ini merupakan kaca yang belum terasah, sehingga tidak dapat berperan sebagai cermin bagi Allah untuk melihat kesempurnaan-Nya. Adapun dari segi hubungannya dengan manusia, maka nur Muhammad juga disebut hakikat manusia atau Insān Kāmil. Dalam dirinya mengandung segala hakikat wujud. Karena itu Insān Kāmil merupakan wadah tajalli Allah yang paling lengkap, sehingga dapat berperan sepenuhnya sebagai cermin-Nya untuk melihat diri-Nya dalam wujud yang lengkap dan sempurna Daudy, 1983 185-186.Ajaran yang berasal dari Ibn Arabi ini kemudian dikembangkan Abd al-Karīm al-Jīlī dalam sebuah karya pentingnya, al-Insān al-Kāmil fī Marifah al-Awākhir wa al-Awaāil. Ajaran ini kemudian dikembangkan oleh para sufi di Aceh lewat Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, dan Syekh Nuruddin ar-Raniri. Dari Aceh, ajaran insān kāmil masuk ke Kalimantan lewat dua tokoh utamanya, Syaikh Muhammad Nafīs al-Banjarī dan Syaikh Abdul Hamid Abulung Mansur, 1990. Dari Kalimantan Selatan, ajaran insān kāmil kemudian masuk ke seluruh wilayah Kalimantan Sulaiman, 2001. Insān Kāmil dalam naskah Sirr al-Lathīf dinyatakan bahwa ia ada dalam sosok Nabi Muhammad yang dilukiskan dalam sebuah simbolisme huruf. Simbolisme huruf tidak sekedar seni menulis, tetapi di balik itu semua ada pesan-pesan mistik yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana diingatkan oleh Littlejohn 1989 134 bahwa tindakan personal atau teks sebenarnya mengandung pesan-pesan tertentu yang perlu diinterpretasi untuk menemukan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Pendapat senada dikemukakan oleh Atmosuwito, yang mengatakan bahwa simbol merupakan suatu pola yang mengandung kenyataan yang tidak terlihat invisible reality yang hanya dapat ditangkap dengan penglihatan batin. Karena contoh gambar dari alam syahādah digunakan dalam menyatakan realitas yang tidak terlihat, maka dalam simbol dua kenyataan yang berbeda, yaitu kenyataan dalam dan kenyataan luar, disatukan Atmosuwito, 1989 68. Dalam Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9088teorinya tentang strata simbol, Ermatinger dalam Hinderer, 1972 menyatakan bahwa bentuk-bentuk simbol berkaitan langsung dengan bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran batin manusia. Pendek kata, manusia tidak dapat membebaskan diri dari simbol apabila memikirkan perkara-perkara yang tidak dapat dilihat dengan mata. Di sini simbol bukan hanya sekadar tanda yang membawa seseorang mengenali sesuatu, tetapi juga-khususnya dalam kaitannya dengan pengalaman keagamaan dan mistikal, berfungsi membawa seseorang mencapai pemahaman tentang wujud suci yang lebih tinggi dan tersembunyi Hadi WM, 2001 90. Gambar Judul gambar belum adaSosok Insān Kāmil dalam Naskah Sirr al-LathīfDalam tradisi sufi penggunaan simbol berhubungan dengan tradisi esoterik mereka yang menekankan pentingnya makna dalam. Lebih jauh penyair-penyair sufi memandang bahwa puisi merupakan simbol-simbol dari kebenaran dan keindahan jiwa manusia. Sebagaimana dalam tradisi besar sastra dunia yang lain, simbol-simbol atau citra-citra simbolik yang terdapat di dalam khazanah sastra sufi memilikt sejarah, latar belakang dan akar tersendiri yang khusus, yaitu gagasan keruhanian mereka dan latar belakang budaya di mana tasawuf mula-mula tumbuh dan berkembang. Selain diambil dari al-Qur’an, Hadis Nabi dan sejarah Islam, simbol-simbol dalam puisi sufi stik juga diambil dan dimodifi kasi dari tradisi lokal. Seorang ahli sufi yang terkenal pada abad ke-11 al-Qusyairī di dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyah mengatakan bahwa lahirnya simbol-simbol di dalam tasawuf, dan penggunaannya dalam pengucapan puisi sufi , berhubungan erat dengan tradisi esoterik mereka. Penggunaan simbol dimaksud agar gagasan-gagasan esoterik mereka terlindung dari pengetahuan golongan masyarakat yang tidak sepaham dengan pemikiran mereka Taftazani, 1985 134. Di dalam Kitab al-Luma` at-Thūsī mengatakan bahwa simbol-simbol adalah pengertian samar yang tersembunyi di balik ungkapan-ungkapan lahir, dan hanya dapat dipahami oleh ahli yang menguasainya. Menurut at-Thūsī, dalam simbol, terdapat dua jenis makna 1 makna lahir dari kata-kata yaitu arti harfi ahnya; 2 makna keruhanian yang tersembunyi yang memerlukan telaah dan kajian mendalam Taftazani, 1985 134. Cara menangkap makna tersembunyi itu ialah dengan menelaahnya menurut metode takwil atau tafsir keruhanian. At-Taftazani mengatakan bahwa pada dasarnya penggunaan simbol untuk mengungkapkan kenyataan dan pengalaman keruhanian seorang ahli sufi ; yang menjadi ciri dari sufi -sufi abad ke-10 dan sesudahnya, timbul dari usaha untuk mengalihkan pengalaman kejiwaan mereka yang luar biasa kepada orang lain dengan bahasa yang dapat diindra, yaitu bahasa fi guratif majāz puisi. Simbol-simbol dalam puisi para sufi hendaknya tidak dipandang sebagai kata-kata biasa, karena setiap simbol memiliki titik pendakian ke arah pengartian luas mathla. Simbol-simbol tersebut menunjukkan pengartian yang dicipta dalam keadaan jiwa yang dinamis atau bergelora dan menggambarkan Ajaran Tasawuf dalam Naskah Sirr Al-LathīfSulaiman89secara hidup kecenderungan perasaan, pikiran dan kalbu seorang sufi yang dilimpahi gairah ketuhanan. Pernyataan senada dikemukakan oleh Annemarie Schimmel, yang menemukan adanya pesan-pesan mistik dalam pemakaian huruf-huruf Arab yang digunakan secara luas di kalangan sufi Schimmel, 1970. PENUTUPSetelah diuraikan panjang lebar hasil kajian terhadap naskah Sirr al-Lathīf, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, ayat-ayat surat al-Fatihah dipercayai terletak pada organ-organ tubuh manusia, yang mengisyaratkan bahwa ia sudah built in dalam diri manusia. Dengan demikian, penjelasan ini bukanlah sebuah tafsir, melainkan mistisisasi surat al-Fatihah. Kedua, penjelasan sembahyang salat dalam naskah Sirr al-Lathīf mempunyai kekhasan yang tidak ditemukan dalam penjelasan fi kih. Ia mencoba menghubungkan sembahyang sebagai penyatuan antara Tuhan dan hamba. Dan ketiga, penjelasan insān kāmil sebagai representasi dari manusia yang sempurna, tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep dari para sufi mainstream. Namun, naskah ini lebih banyak menggunakan simbolisasi untuk menggambarkan keterbatasan kata-kata verbal untuk mengungkapkan hubungan yang sangat intim tersebut. Dari tiga kesimpulan di atas, dapat digarisbawahi bahwa naskah ini tidaklah independen dari pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya. Ia merupakan ringkasan ajaran tasawuf yang sudah berkembang pada masa itu, dan jika dirunut ke belakang tetap ada hubungan yang erat dengan ajaran wahdah al-wujūd, yang memang sudah mengakar kuat di Nusantara. Wallāhu a’lam bi PUSTAKAAbdurrahman, 1989. “Studi tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 Suatu Tinjauan tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19”. Banjarmasin Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Subijanto. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas Dalam Sastra. Bandung CV. Sinar Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta Badan Peneliti dan Publikasi Seksi Filologi, Fak. Sastra Universitas Gadjah Oman. 2008. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta PPIM UIN Syarif Hidayatullah-KITLV-École française d’Extrême-Orient-Prenada Media Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta LKiS. Hadi Abdul. 2001. Tasawuf Yang Tertindas Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta 2010. Ilmu Gaib di Kalimantan Barat, Jakarta KPG-École française d’Extrême-Orient-KITLV dan STAIN Walter. 1972. “Theory, Conception and Interpretation of the Symbol”, dalam Joseph Strelka ed., Perspectives in Literary Symbolism. University Park and London Pennsylvania State Abd al-Karīm ibn Ibrāhīm. 1975. Al-Insān al-Kāmil fī Marifat al-Awākhir wa al-Awā’il. Beirut Dār Stephen W. 1989. Theories of Human Communication. California Wadsworth Publishing Nabilah. 1996. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta Forum Kajian Bahasa dan sastra Arab, Fak. Adab IAIN Syarif Laily. 1982. Kitab ad-Durrun Nafi s Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf. Banjarmasin Hasanu. Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014halaman 77-9090Masfi ah, Umi. 2009. Naskah Melayu Bernuansa Keagamaan Islam di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan Kajian Naskah Kitab Tahqiq di Kalimantan Selatan Laporan Penelitian. Semarang Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Dep. Agama Seyyed Hossein. 2007. The Garden of Truth The Vision and Promise of Sufi sm, Islam’s Mystical Tradition. New York Harper Reynold A. 2002. Jalaluddin Rumi Ajaran dan Pengalaman Sufi , terj. Drs. Sutejo. Jakarta Pustaka “Dinamika Intelektual Islam di Kalimantan Selatan Studi Genealogi, Referensi, dan Produk Pemikiran”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vo. 11, No. 1, Januari Syekh Nuruddin. Asrār al-Insān fī Marifah ar-Rūh ar-Rahmā, ed. Tujumah. Jakarta tp. Sahriansyah. 2009. Pemikiran Ilmu Sabuku Syekh Abdul Hamid Ambulung. Semarang Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama Annemarie. 1970. Islamic Calligraphy, Edi. “Menyikapi Warisan Budaya”, Media Indonesia, 25 Maret Michael A. 2004. Terbakar Cinta Tuhan Kajian Eksklusif Spiritualitas Islam Awal, penerj. Alfati. Bandung 2001. Wahdah Al-Wujūd di Kotawaringin Studi Naskah Tasawuf Muhtar ibn `Abd al-Rahīm. Tesis S2. Semarang Pascarsajana IAIN Ahmad. 1998. Ulama Banjar Posisi dan Peranannya pada Akhir Abad XVIII. Semarang Puslit IAIN Abu al-Wafa. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi ’ Utsmani. Bandung Pustaka, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta Dunia Pustaka Mudjahirin. “Filologi dan Kebudayaan”, diakses 23 April 2013. Wollf, Janet. 1991. “Hermeneutic and Sociology” dalam Henry Etkowitz dan Ronald M. Glassman [ed.], The Renaissance of Sociological Theory. Itaca, Illinois F. E. Peacock Publisher, Inc. Zamzam, Zafri. 1979. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Banjarmasin tp. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this RahmadiThis paper tries to explore the intelectual Islamic dynamic in South Kalimantan throughthe studies on many influences that become the genealogic root of Islam in this region,and then through the religious literatures that referenced by the intelectual of religiouselite and the tipology of thought’s product that emerged for more than two the writer uses the history of social-intelectual approach with based on the writtentext. This writing tells us that the genealogical root, intelectual reference, and the tipologyof religious thought which was producted actually part of the trend of intelectual muslimdynamic which commonly spreaded in Nusantara and Southeast tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 Suatu Tinjauan tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19AbdurrahmanAbdurrahman, 1989. "Studi tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835 Suatu Tinjauan tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19". Banjarmasin Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Sastra dan Religiusitas Dalam SastraSubijanto AtmosuwitoAtmosuwito, Subijanto. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas Dalam Sastra. Bandung CV. Sinar Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIIIAzyumardi AzraAzra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung BariedDkk BarorohBaried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta Badan Peneliti dan Publikasi Seksi Filologi, Fak. Sastra Universitas Gadjah Syattariyah di Minangkabau Jakarta PPIM UIN Syarif Hidayatullah-KITLV-École française d'Extrême-Orient-Prenada Media GroupOman FathurahmanFathurahman, Oman. 2008. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta PPIM UIN Syarif Hidayatullah-KITLV-École française d'Extrême-Orient-Prenada Media FayyadFayyad, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta LKiS.
hakikat al fatihah dalam tubuh